BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang mau tidak mau akan berhadapan
dengan lingkungan. Manusia selalu hidup secara bersama-sama, karena pada
hakikatnya manusia saling membutuhkan (hidup komunal) dan tidak dapat hidup
secara individual. Kenyataan ini membawa manusia pada perbedaan-perbedaan
perspektif terhadap lingkungannya, dengan kata lain perbedaan seperti keyakinan
(agama), organisasi, dan lain-lain adalah perbedaan yang dirasa lumrah di
lingkungan manusia. Sebagai umat Muslim hendaknya kita dapat memaknai perbedaan
adalah sebagai fitrah, bukan sebaliknya menjadi polemic dalam llingkungan.
Agama sebagai tonggak keyakinan yang dimiliki oleh setiap umat manusia
diyakini adalah sebagai obat penawar hati untuk mengendalikan etika, moral
setiap manusia yang meyakini agamanya. Dalam kehidupan sosial, agama menjadi
hal yang paling vital sebelum bisa memaknai arti kehidupan secara interaktif. Bertolak
belakang dengan beberapa pendapat sebelumnya, agama juga diyakini sebagai
penyebab kehancuran hubungan masyarakat, mungkin dengan mengaca beberapa
problem-problem agama yang telah banyak terjadi di masyarakat salahsatunya
diakibatkan karena rasa fanatic yang terlalu berlebihan hingga akhirnya
seseorang tersebut tidak dapat melihat yang mana kepentingan individu.
Dalam makalah ini kami akan memaparkan beberapa pengertian tentang
sosiologi dan agama, selain itu akan dijelaskan beberapa unsur-unsur terkait
dalam pembahasan.tentang bagaimana hubungan masyarakat dan agama dalam
kehidupan sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian sosiologi agama
2.
Apa hubungan antara sosiologi dan agama
3.
Sejauh mana pengaruh agama terhadap kehidupan
bermasyarakat
C.
Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah:
1.
Memahami pengertian sosiologi agama
2.
Mengetahui hubungan antara sosiologi dan agama
3.
mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sosiologi
1.
Pengertian
Dalam pengertian yang masih umum, sosiologi merupakan studi tentang
masyarakat yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok,
dengan segala kegiatan, dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting
sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia,
karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik
dan juga karena factor-faktor yang melibatkannya serta dari interaksi sosial
berikutnya.
Segala factor dan pola-pola kegiatannya serta konsekuensi-konsekuensi
proses interaksi di antara individu dengan individu dan kelompok-kelompok
adalah pokok-pokok persoalan yang penting dari sosiologi.
Menurut Pitirim Sorokin, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan dan timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala
ekonomi, gejala keluarga dan gejala moral) dengan gejala non sosial, dan yang
terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari cirri-ciri umum semua jenis
gejala-gejala sosial lain.
Menurut Roucek dan Warren,
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam
kelompok-kelompok.
Sedangkan Willian F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf
menyatakan bahwa Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi
sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers, Sosiologi
adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses sosial
termasuk perubahan sosial.
Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang berupaya
memahami tindakan-tindakan sosial.
Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi,
sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk
mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
William Kornblum, Sosiologi adalah suatu upaya
ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan
menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
Menurut
Allan Jhonson, sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu
system sosial dan bagaimana system tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana
pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi system tersebut.
2.
Ciri-ciri Utama Sosiologi
a.
Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu
pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal
sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.
b.
Sosiologi bersifat teoretis, yaitu ilmu pengetahuan
tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi.
c.
Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa
teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti
memperbaiki, memperluas serta memperhalus teori-teori lama.
d.
Bersifat non-etis, yakni yang dipersoalkan bukanlah
buruk-baiknya fakta tertentu, akan
tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
B.
Obyek Sosiologi
Objek sosiologi adalah masyarakat
yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari
hubungan manusia di dalam masyarakat.
Menurut Maclver dan Page,
Masyarakat adalah suatu system dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan
kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan dan pengawasan tingkahlaku
serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita
namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial. Dan
masyarakat selalu berubah.
Ralph Linton mengatakan,
masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama
cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri
mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan
jelas.
Sedangkan menurut Selo
Soemardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan
kebudayaan.
C.
Unsur-unsur Sosiologi
a.
Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak
ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia
yang harus ada. Akan tetapi secara teoretis angka minimnya adalah dua orang
yang hidup bersama.
b.
Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari
manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi,
meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia akan timbul
manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan
mengerti; mereka juga mempunyai keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau
perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbulah system komunikasi dan timbulah
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dalam kelompok
tersebut.
c.
Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.
d.
Mereka merupakan suatu system hidup barsama. System
kehidupan bersama manimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok
merasa dirinya terikat satu dengan lainnya.
D.
Agama dan Masyarakat
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling
sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan
perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat
manusia beradab. Tetapi agama telah pula dituduh sebagai penghambat kemajuan
manusia, dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran, pengacuhan,
pengabaian, tahayul dan kesia-siaan. Tetapi agama juga memperlihatkan
kemampuannya melahirkan kecenderungan yang sangat revolusioner, seperti peristiwa
pemberontakan petani pada abad ke-16 di Jerman. Emile Durkheim seorang pelopor
sosiologo agama di Prancis mengatakan bahwa agama merupakan sumber semua
kebudayaan yang sangat tinggi, sedang Marx mengatakan bahwa agama adalah candu
bagi manusia. Jelsa agama menunjukkan seperangkat aktivitas manusia dan
sejumlah bentuk-bentuk sosial yang mempunyai arti penting. Yang menjadi masalah
ialah bagaimana sosiologi seharusnya mendekati selektif mungkin (observasi dan
analisa) aspek eksistensi sosial manusia yang berisi banyak dan kabur ini?
Agama adalah suatu cirri kehidupan sosial manusia yang universal dalam
arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berfikir dan pola-pola perilaku
yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Banyak dari apa
yang berjudul agama termasuk dalam superstruktur: agama terdiri atas tipe-tipe
symbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk
manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena agama juga
mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur
sosial.
Suatu agama ialah suatu system kepercayaan yang disatukan oleh praktik
yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni hal-hal yang dibolehkan dan
dilarang-kepercayaan dan praktik-praktik yang mempersatukan suatu komunitas
moral yang disebut gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain (Durkheim,
1965). Saya merumuskan agama sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik
yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir eksistensinya (Bellah, 1964).
Jadi agama dapat dirumuskan sebagai suatu system kepercayaan dan praktik di
mana suatu kelompok manusia berjuang
menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia (Yinger, 1970).
Dalam ensiklopedi Islam Indonesia, agama berasal dari kata
sansekerta, yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci
golongan Hindu Syiwa (kitab suci mereka bernama Agama). Kata itu kemudian
menjadi dikenal luas dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dalam
penggunaannya sekarang, ia tidak mengacu kepada kitab suci tersebut. Ia
dipahami sebagai nama jenis bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh
suatu masyarakat, sebagaimana kata dharma (juga dari bahasa sansekerta), din
(dari bahas Arab), dan religi (bahas Latin) dipahami.
Secara teologis, ulama Islam membagi agama-agama yang ada di dunia ini
menjadi dua kelompok. Pertama, adalah agama wahyu, yakni agama yang
diwahyukan Tuhan kepada rasul-Nya yang banyak, seperti kepada Nabi Nuh, Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa dan terakhir kepada Nabi Muhammad.
Keyakinan sentral dalam agama wahyu, yang diajarkan para rasul Tuhan itu, pada
masa hidup masing-masing, tidak lain dari tauhidullah (mengesakan Allah), yakni
mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan hanya kepada-Nya saja ubudiah serta
ketaatan ditujukan secara langsung.
Kedua adalah agama bukan wahyu, yakni agama-agama yang muncul
sebagai hasil budaya khayal, perasaan, atau pikiran manusia. Tidak semua yang
dihasilkan oleh budaya manusia mesti bertentangan dengan apa yang diajarkan
oleh wahyu. Namun, agama-agama yang mempunyai akidah yang bertentangan dengan
akidah
tauhidullah dapat ditegaskan
sebagai agama bukan wahyu.
Semua agama mengandung empat unsur penting
a.
Pengakuan bahwa ada kekuatan ghaib yang menguasai atau
mempengaruhi kehidupan manusia.
b.
Keyakinan bahwa keselamatan kehidupan manusia
tergantung adanya hubungan baik antara manusia dengan kekuatan ghaib itu.
c.
Sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan
ghaib itu seperti sikap takut hormat cinta penuh harap pasrah dan lain-lain.
d.
Tingkah laku tertentu yang dapat diamati seperti:
sholat, do’a, puasa, suka menolong, dll.
Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat
memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak
mengimplikasikan pengertian bahwa “agama menciptakan masyarakat”. Tetapi hal
itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan
masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial
yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.
Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang
menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap
konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme
mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat
hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti “matahari”, “burung kakatua”, dll,
itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula
dengan pemasukan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide
mengenai “klasifikasi” itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan
panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang “klasifikasi yang
hierarjis”,
muncul sebagai akibat dari
adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.
E.
Pengertian Sosiologi Agama
Dalam berbagai literatur batasan atau definisi sosiologi agama
(Sociology
of religion) hampir tidak ada perbedaan yang sangat berarti. Namun
demikian, perlu dikemukakan berbagai pengertian sosiologi agama menurut
beberapa ahli sosiologi. J.Wach merumuskan sosiologi agama secara luas sebagai
suatu studi tentang “interaksi” yang terjadi antar mereka. Anggapan para
sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan, dan kelembagaan agama mempengaruhi
dan sebaliknya, juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi, dan
stratifikasi sosial adalah tepat. Jadi, seorang sosiolog agama bertugas
menyelidiki tentang bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan, dan
pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi
mereka. Kelompok-kelompok pengaruh terhadap agama, fungsi-fungsi ibadat untuk
masyarakat, tipologi dari lembaga-lembaga keagamaan, dan tanggapan-tanggapan
agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung maupun tidak langsung antara
system-sistem religius dan masyarakat, dan sebagainya, termasuk bidang
penelitian sosiologi agama.
Sudah agak jelas apa yang telah dijelaskan di atas tentang sosiologi
agama, sebab-sebab fenomena tentang sosiologi agama mempunyai dua cirri, yaitu:
a)
Agama adalah bagian dari kebudayaan manusia.
b)
Agama sebagai institusi sosial
Aspek sosiologi
agama dijabarkan demikian guna mencapai gambaran yang lebih jelas.
a)
Agama adalah bagian dari kebudayaan manusia, dengan
kata lain agama dapat dikatakan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan lingkungannya dan manusia dengan
lainnya. Sedangkan kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan
yang dihadapi dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan.
b)
Agama sebagai institusi sosial, persoalan apakah agama
itu seyogyanya tidak berbetuk institusi, atau sebaliknya, harus berbentuk
institusi bukanlah masalah utama dari sosiologi. Masalah itu mungkin primer
untuk teologi atau filsafat. Kenyataan yang ada dapat dikatakan: seluruh
kegiatan dimulai dari kelahiran sampai kematian tidak lolos dari
peraturan-peraturan yang dilembagakan. Demikan pula kehidupan beragama sebagai
fakta sosial ternyata juga tidak luput dari mekanisme institussonal.
F.
Lahir dan Berkembangnya Sosiologi Agama
Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas
tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama, yang menyangkut
kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan
sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia di mana
kita memiliki berbagai catatan, termasuk yang biasa diketengahkan dan ditafsirkan
oleh para ahli arkeologi.
Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur
institusional penting yang melengkapi keseluruhan system sosial. Akan tetapi
masalah agama berbeda dengan lembaga ekonomi yang berkaitan dengan kerja,
produksi dan pertukaran.
Kelahiran sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Prancis
bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif menyusun sintesa
berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang
masyarakat dengan dasar filsafat empiric yang kuat.
Sedangkan embrio minat memepelajari fenomena agama dalam masyarakat muali
tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana Barat terkenal
seperti Edward B. Taylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-1903), Friedrich H.
Muller (1823-1917), James G. Fraser (1854-1941). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik
kepada agama-agama primitive. Akan tetapi, pengkajian masalah agama secara
ilmiah dan terbina baru mulai sekitar tahun 1900. mulai saat itu hingga
menjelang munculnya buku-buku sosiologi agama yang sering disebut dengan nama
sosiologi agama klasik.
G.
Obyek, Pendekatan dan Metode Sosiologi Agama
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada batasan mengenai sosiologi agama
di atas, maka objek material sosiologi agama adalah masyarakat agama. Seperti
masyarakat nonagama umumnya, masyarakat agama terdiri atas komponen-komponen
konstitutif, seperti kelompok-kelompok keagamaan, institusi-institusi religius
yang mempunyai cirri pola tingkah laku tersendiri, baik ke dalam maupun ke
luar, menurut norma-norma dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh agama.
Jika dikatakan bahwa yang menjadi sasaran adalah masyarakat agama,
sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu system ajaran (dogma
dan moral) itu sendiri, tetapi agama sejauh ia sudah mengejewantah dalam
bentuk-bentuk kemasyarakatan yang nyata atau dengan kata lain agama sebagai
fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat disaksikan dan sialami banyak
orang. Untuk jelasnya sosiologi agama tidak membuat evaluasi mengenai ajaran
dogma dan moral yang diyakini pemeluk-pemeluknya sebagai berasal dari “dunia
luar”, dunia sacral yang jauh berbeda secara esensial dengan dunia empiris dan
oleh karenanya juga tidak dapat disentuh oleh pengkajian empiris. Sebab memberi
panilaian atas nilai-nilai adikodrati
(supraempiris) adalah tugas khusus dari teologi dogmatic dan teologi
moral dan bukan kopotensi sosiologi agama.
Sedangkan dalam mencapai tujuannya sosiologi agama tidak berbeda dengan
sosiologi umum, yaitu menggunakan metode observasi, interview, dan angket
mengenai masalah-masalah keagaman yang dianggap penting dan sanggup memberikan
data-data yang dibutuhkan. Dengan kata lain, seluruh proses pengumpulan data
kuantitatif dan kualitatif mengikuti tekhnik yang dipakai sosiologi umum.
H.
Fungsi Sosiologi Agama
Akibat bagi sosiologi agama sebagai disiplin sudah jelas; sosiologi agama
adalah suatu bagian integral dan bahkan sentral dari sosiologi pengetahuan.
Tugasnya yang paling penting adalah untuk menganalisa unsure-unsur normatif dan
kognitif di mana suatu
universe yang dinyatakan secara sosial (yakni
“pengtahuan” mengenai hal ini) diabsahkan.
Kegunaan sosiologi dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang
tidak kecil bagi instansi keagamaan. Sebagaimana sosiologi positif telah
membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam
masyarakat serta ,menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan perkembangan
masyarakat, demikian pula sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin
agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya
dengan masalah-masalah sosial nonkeagamaan. Dalam bidang teoretis di mana para
ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang
sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan
sumbangannya.akhir-akhir ini masyarakat dihadapkan dengan masalah-masalah sosial
yang semakin krusial yang tidak lepas dari kekuatan-kekuatan sosial yang
bersumber dari persoalan politik, ekonomi, budaya, dan juga keagamaan. Hal ini
seringkali menimbulkan gejolak yang menjurus kepada gerakan-gerakan negatif
yang bersifat kritis, dalam bentuk unjuk rasa, mimbar terbuka, demonstrasi, dan
lain sebagainya. Semua ini bersumber dari perbedaan persepsi dan kecemburuan
sosial. Ini kadang-kadang, jika tidak terkendalikan, akan menjurus kepada
keberingasan massa.
Melihat begitu beratnya masalah yang dihadapi bangsa ini, maka ilmu yang
layak diaharapkan sanggup memberikan jawaban yang khas dan tepat dalam
masalah-masalah tersebut di atas tinggalah sosiologi agama. Demikian anggapan
sejumlah agamawan terkemuka yang didukung penganut-penganutnya. Akan tetapi,
apabila masalah itu dikaji secara sosiologis, masalah yang
bergejolak bukanlah masalah ortodoksi (dogma
dan moral), melainkan hanya masalah kebudayaan, pendeknya masalah sosiologis.
Misalnya tentang kepemimpinan agama yang membuat pemeluknya tertekan dan
menimbulkan ketegangan-ketegangan yang mencekam karena kurang memahami tekhnik
organisasi dan penggunaan kekuasaan dalam situasi yang sudah berubah yang
menuntut pergantian struktur dan system baru yang sesuai.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sosiologi merupakan studi tentang masyarakat yang mengemukakan sifat atau
kebiasaan manusia dalam kelompok, dengan segala kegiatan, dan kebiasaan serta
lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan
berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang
hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena factor-faktor yang
melibatkannya serta dari interaksi sosial berikutnya.
Sosiologi agama secara luas
sebagai suatu studi tentang “interaksi” yang terjadi antar mereka. Anggapan
para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan, dan kelembagaan agama
mempengaruhi dan sebaliknya, juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial,
organisasi, dan stratifikasi sosial adalah tepat.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya masih terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan baik itu dari penulisan redaksi ataupun dari referensi yang masih
kurang. Menyadari kekurangan dan kelemahan kami, kami berharap saran dari
pembaca makalah ini untuk memberikan masukan-masukan yang nantinya akan menjadi
motivasi kami untuk selalu belajar. Kurang lebihnya kami ucapkan terimakasih
dan maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR
RUJUKAN
Ishomuddin. Pengantar
Sosiologi Agama. 2002. Ghalia Indonesia; Jakarta
Robert, Rolang. Agama:
Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. 1995. PT Raja Grafindo Persada
Nottingham. K, Elizabet.
Agama dan masyarakat. 1990.PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
O’dea, Thomas F.
Sosiologi Agama. 1985. Jakarta: CV Rajawali
sosiologi\index.htm