Senin, 15 Oktober 2012

Sosiologi Agama



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang mau tidak mau akan berhadapan dengan lingkungan. Manusia selalu hidup secara bersama-sama, karena pada hakikatnya manusia saling membutuhkan (hidup komunal) dan tidak dapat hidup secara individual. Kenyataan ini membawa manusia pada perbedaan-perbedaan perspektif terhadap lingkungannya, dengan kata lain perbedaan seperti keyakinan (agama), organisasi, dan lain-lain adalah perbedaan yang dirasa lumrah di lingkungan manusia. Sebagai umat Muslim hendaknya kita dapat memaknai perbedaan adalah sebagai fitrah, bukan sebaliknya menjadi polemic dalam llingkungan.
Agama sebagai tonggak keyakinan yang dimiliki oleh setiap umat manusia diyakini adalah sebagai obat penawar hati untuk mengendalikan etika, moral setiap manusia yang meyakini agamanya. Dalam kehidupan sosial, agama menjadi hal yang paling vital sebelum bisa memaknai arti kehidupan secara interaktif. Bertolak belakang dengan beberapa pendapat sebelumnya, agama juga diyakini sebagai penyebab kehancuran hubungan masyarakat, mungkin dengan mengaca beberapa problem-problem agama yang telah banyak terjadi di masyarakat salahsatunya diakibatkan karena rasa fanatic yang terlalu berlebihan hingga akhirnya seseorang tersebut tidak dapat melihat yang mana kepentingan individu.
Dalam makalah ini kami akan memaparkan beberapa pengertian tentang sosiologi dan agama, selain itu akan dijelaskan beberapa unsur-unsur terkait dalam pembahasan.tentang bagaimana hubungan masyarakat dan agama dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian sosiologi agama
2.      Apa hubungan antara sosiologi dan agama
3.      Sejauh mana pengaruh agama terhadap kehidupan bermasyarakat

C.    Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah:
1.      Memahami pengertian sosiologi agama
2.      Mengetahui hubungan antara sosiologi dan agama
3.      mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sosiologi
1.      Pengertian
Dalam pengertian yang masih umum, sosiologi merupakan studi tentang masyarakat yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok, dengan segala kegiatan, dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena factor-faktor yang melibatkannya serta dari interaksi sosial berikutnya.
Segala factor dan pola-pola kegiatannya serta konsekuensi-konsekuensi proses interaksi di antara individu dengan individu dan kelompok-kelompok adalah pokok-pokok persoalan yang penting dari sosiologi.[1]
Menurut Pitirim Sorokin, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga dan gejala moral) dengan gejala non sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari cirri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
Menurut Roucek dan Warren, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
Sedangkan Willian F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf menyatakan bahwa Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers, Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi, sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
William Kornblum, Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
Menurut Allan Jhonson, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu system sosial dan bagaimana system tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi system tersebut.[2]

2.      Ciri-ciri Utama Sosiologi
a.       Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.
b.      Sosiologi bersifat teoretis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi.
c.       Sosiologi bersifat kumulatif yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas serta memperhalus teori-teori lama.
d.      Bersifat non-etis, yakni yang dipersoalkan bukanlah buruk-baiknya  fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.

B.     Obyek Sosiologi
               Objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.
               Menurut Maclver dan Page, Masyarakat adalah suatu system dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan dan pengawasan tingkahlaku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial. Dan masyarakat selalu berubah.
               Ralph Linton mengatakan, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
               Sedangkan menurut Selo Soemardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.





C.    Unsur-unsur Sosiologi
a.       Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoretis angka minimnya adalah dua orang yang hidup bersama.
b.      Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti; mereka juga mempunyai keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbulah  system komunikasi dan timbulah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dalam kelompok tersebut.
c.       Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.
d.      Mereka merupakan suatu system hidup barsama. System kehidupan bersama manimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya.


 









D.    Agama dan Masyarakat
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Tetapi agama telah pula dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia, dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran, pengacuhan, pengabaian, tahayul dan kesia-siaan. Tetapi agama juga memperlihatkan kemampuannya melahirkan kecenderungan yang sangat revolusioner, seperti peristiwa pemberontakan petani pada abad ke-16 di Jerman. Emile Durkheim seorang pelopor sosiologo agama di Prancis mengatakan bahwa agama merupakan sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi, sedang Marx mengatakan bahwa agama adalah candu bagi manusia. Jelsa agama menunjukkan seperangkat aktivitas manusia dan sejumlah bentuk-bentuk sosial yang mempunyai arti penting. Yang menjadi masalah ialah bagaimana sosiologi seharusnya mendekati selektif mungkin (observasi dan analisa) aspek eksistensi sosial manusia yang berisi banyak dan kabur ini?[3]
Agama adalah suatu cirri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berfikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam superstruktur: agama terdiri atas tipe-tipe symbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur sosial.
Suatu agama ialah suatu system kepercayaan yang disatukan oleh praktik yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni hal-hal yang dibolehkan dan dilarang-kepercayaan dan praktik-praktik yang mempersatukan suatu komunitas moral yang disebut gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain (Durkheim, 1965). Saya merumuskan agama sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir eksistensinya (Bellah, 1964). Jadi agama dapat dirumuskan sebagai suatu system kepercayaan dan praktik di mana suatu kelompok manusia  berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia (Yinger, 1970).
Dalam ensiklopedi Islam Indonesia, agama berasal dari kata sansekerta, yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu Syiwa (kitab suci mereka bernama Agama). Kata itu kemudian menjadi dikenal luas dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dalam penggunaannya sekarang, ia tidak mengacu kepada kitab suci tersebut. Ia dipahami sebagai nama jenis bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh suatu masyarakat, sebagaimana kata dharma (juga dari bahasa sansekerta), din (dari bahas Arab), dan religi (bahas Latin) dipahami.
Secara teologis, ulama Islam membagi agama-agama yang ada di dunia ini menjadi dua kelompok. Pertama, adalah agama wahyu, yakni agama yang diwahyukan Tuhan kepada rasul-Nya yang banyak, seperti kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa dan terakhir kepada Nabi Muhammad. Keyakinan sentral dalam agama wahyu, yang diajarkan para rasul Tuhan itu, pada masa hidup masing-masing, tidak lain dari tauhidullah (mengesakan Allah), yakni mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan hanya kepada-Nya saja ubudiah serta ketaatan ditujukan secara langsung.
Kedua adalah agama bukan wahyu, yakni agama-agama yang muncul sebagai hasil budaya khayal, perasaan, atau pikiran manusia. Tidak semua yang dihasilkan oleh budaya manusia mesti bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh wahyu. Namun, agama-agama yang mempunyai akidah yang bertentangan dengan akidah  tauhidullah dapat ditegaskan sebagai agama bukan wahyu.[4]
Semua agama mengandung empat unsur penting
a.       Pengakuan bahwa ada kekuatan ghaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia.
b.      Keyakinan bahwa keselamatan kehidupan manusia tergantung adanya hubungan baik antara manusia dengan kekuatan ghaib itu.
c.       Sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan ghaib itu seperti sikap takut hormat cinta penuh harap pasrah dan lain-lain.
d.      Tingkah laku tertentu yang dapat diamati seperti: sholat, do’a, puasa, suka menolong, dll.[5]
Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa “agama menciptakan masyarakat”. Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.
Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti “matahari”, “burung kakatua”, dll, itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai “klasifikasi” itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang “klasifikasi yang hierarjis”,  muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.[6]

E.     Pengertian Sosiologi Agama
Dalam berbagai literatur batasan atau definisi sosiologi agama (Sociology of religion) hampir tidak ada perbedaan yang sangat berarti. Namun demikian, perlu dikemukakan berbagai pengertian sosiologi agama menurut beberapa ahli sosiologi. J.Wach merumuskan sosiologi agama secara luas sebagai suatu studi tentang “interaksi” yang terjadi antar mereka. Anggapan para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan, dan kelembagaan agama mempengaruhi dan sebaliknya, juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi, dan stratifikasi sosial adalah tepat. Jadi, seorang sosiolog agama bertugas menyelidiki tentang bagaimana tata cara masyarakat, kebudayaan, dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi mereka. Kelompok-kelompok pengaruh terhadap agama, fungsi-fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga-lembaga keagamaan, dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung maupun tidak langsung antara system-sistem religius dan masyarakat, dan sebagainya, termasuk bidang penelitian sosiologi agama.[7]
Sudah agak jelas apa yang telah dijelaskan di atas tentang sosiologi agama, sebab-sebab fenomena tentang sosiologi agama mempunyai dua cirri, yaitu:
a)      Agama adalah bagian dari kebudayaan manusia.
b)      Agama sebagai institusi sosial
Aspek sosiologi agama dijabarkan demikian guna mencapai gambaran yang lebih jelas.
a)      Agama adalah bagian dari kebudayaan manusia, dengan kata lain agama dapat dikatakan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan lingkungannya dan manusia dengan lainnya. Sedangkan kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan.
b)      Agama sebagai institusi sosial, persoalan apakah agama itu seyogyanya tidak berbetuk institusi, atau sebaliknya, harus berbentuk institusi bukanlah masalah utama dari sosiologi. Masalah itu mungkin primer untuk teologi atau filsafat. Kenyataan yang ada dapat dikatakan: seluruh kegiatan dimulai dari kelahiran sampai kematian tidak lolos dari peraturan-peraturan yang dilembagakan. Demikan pula kehidupan beragama sebagai fakta sosial ternyata juga tidak luput dari mekanisme institussonal.[8]

F.     Lahir dan Berkembangnya Sosiologi Agama
Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama, yang menyangkut kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia di mana kita memiliki berbagai catatan, termasuk yang biasa diketengahkan dan ditafsirkan oleh para ahli arkeologi.
Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan system sosial. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan lembaga ekonomi yang berkaitan dengan kerja, produksi dan pertukaran.
Kelahiran sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Prancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empiric yang kuat.
Sedangkan embrio minat memepelajari fenomena agama dalam masyarakat muali tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana Barat terkenal seperti Edward B. Taylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-1903), Friedrich H. Muller (1823-1917), James G. Fraser (1854-1941). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik kepada agama-agama primitive. Akan tetapi, pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina baru mulai sekitar tahun 1900. mulai saat itu hingga menjelang munculnya buku-buku sosiologi agama yang sering disebut dengan nama sosiologi agama klasik.[9]

G.    Obyek, Pendekatan dan Metode Sosiologi Agama
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada batasan mengenai sosiologi agama di atas, maka objek material sosiologi agama adalah masyarakat agama. Seperti masyarakat nonagama umumnya, masyarakat agama terdiri atas komponen-komponen konstitutif, seperti kelompok-kelompok keagamaan, institusi-institusi religius yang mempunyai cirri pola tingkah laku tersendiri, baik ke dalam maupun ke luar, menurut norma-norma dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh agama.
Jika dikatakan bahwa yang menjadi sasaran adalah masyarakat agama, sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu system ajaran (dogma dan moral) itu sendiri, tetapi agama sejauh ia sudah mengejewantah dalam bentuk-bentuk kemasyarakatan yang nyata atau dengan kata lain agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat disaksikan dan sialami banyak orang. Untuk jelasnya sosiologi agama tidak membuat evaluasi mengenai ajaran dogma dan moral yang diyakini pemeluk-pemeluknya sebagai berasal dari “dunia luar”, dunia sacral yang jauh berbeda secara esensial dengan dunia empiris dan oleh karenanya juga tidak dapat disentuh oleh pengkajian empiris. Sebab memberi panilaian atas nilai-nilai adikodrati  (supraempiris) adalah tugas khusus dari teologi dogmatic dan teologi moral dan bukan kopotensi sosiologi agama.
Sedangkan dalam mencapai tujuannya sosiologi agama tidak berbeda dengan sosiologi umum, yaitu menggunakan metode observasi, interview, dan angket mengenai masalah-masalah keagaman yang dianggap penting dan sanggup memberikan data-data yang dibutuhkan. Dengan kata lain, seluruh proses pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif mengikuti tekhnik yang dipakai sosiologi umum.[10]

H.    Fungsi Sosiologi Agama
Akibat bagi sosiologi agama sebagai disiplin sudah jelas; sosiologi agama adalah suatu bagian integral dan bahkan sentral dari sosiologi pengetahuan. Tugasnya yang paling penting adalah untuk menganalisa unsure-unsur normatif dan kognitif di mana suatu universe yang dinyatakan secara sosial (yakni “pengtahuan” mengenai hal ini) diabsahkan.[11]
Kegunaan sosiologi dalam forum keilmuan merupakan suatu sumbangan yang tidak kecil bagi instansi keagamaan. Sebagaimana sosiologi positif telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta ,menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan perkembangan masyarakat, demikian pula sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial nonkeagamaan. Dalam bidang teoretis di mana para ahli keagamaan memerlukan konsep-konsep dan resep-resep ilmiah praktis yang sulit diperoleh dari teologi, maka sosiologi agama dapat memberikan sumbangannya.akhir-akhir ini masyarakat dihadapkan dengan masalah-masalah sosial yang semakin krusial yang tidak lepas dari kekuatan-kekuatan sosial yang bersumber dari persoalan politik, ekonomi, budaya, dan juga keagamaan. Hal ini seringkali menimbulkan gejolak yang menjurus kepada gerakan-gerakan negatif yang bersifat kritis, dalam bentuk unjuk rasa, mimbar terbuka, demonstrasi, dan lain sebagainya. Semua ini bersumber dari perbedaan persepsi dan kecemburuan sosial. Ini kadang-kadang, jika tidak terkendalikan, akan menjurus kepada keberingasan massa.
Melihat begitu beratnya masalah yang dihadapi bangsa ini, maka ilmu yang layak diaharapkan sanggup memberikan jawaban yang khas dan tepat dalam masalah-masalah tersebut di atas tinggalah sosiologi agama. Demikian anggapan sejumlah agamawan terkemuka yang didukung penganut-penganutnya. Akan tetapi, apabila masalah itu dikaji secara sosiologis, masalah yang  bergejolak bukanlah masalah ortodoksi (dogma dan moral), melainkan hanya masalah kebudayaan, pendeknya masalah sosiologis. Misalnya tentang kepemimpinan agama yang membuat pemeluknya tertekan dan menimbulkan ketegangan-ketegangan yang mencekam karena kurang memahami tekhnik organisasi dan penggunaan kekuasaan dalam situasi yang sudah berubah yang menuntut pergantian struktur dan system baru yang sesuai.[12]




























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sosiologi merupakan studi tentang masyarakat yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok, dengan segala kegiatan, dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena factor-faktor yang melibatkannya serta dari interaksi sosial berikutnya.
            Sosiologi agama secara luas sebagai suatu studi tentang “interaksi” yang terjadi antar mereka. Anggapan para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan, dan kelembagaan agama mempengaruhi dan sebaliknya, juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi, dan stratifikasi sosial adalah tepat.

B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik itu dari penulisan redaksi ataupun dari referensi yang masih kurang. Menyadari kekurangan dan kelemahan kami, kami berharap saran dari pembaca makalah ini untuk memberikan masukan-masukan yang nantinya akan menjadi motivasi kami untuk selalu belajar. Kurang lebihnya kami ucapkan terimakasih dan maaf yang sebesar-besarnya.














DAFTAR RUJUKAN

Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. 2002. Ghalia Indonesia; Jakarta
Robert, Rolang. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. 1995. PT Raja Grafindo Persada
Nottingham. K, Elizabet. Agama dan masyarakat. 1990.PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
O’dea, Thomas F. Sosiologi Agama. 1985. Jakarta: CV Rajawali
sosiologi\index.htm



[1] Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. 2002. Ghalia Indonesia; Jakarta. 10
[2] sosiologi\index.htm
[3] O’dea, Thomas F. Sosiologi Agama. 1985. Jakarta: CV Rajawali. Hal: 1-3
[4] Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. 2002. Ghalia Indonesia; Jakarta. Hal: 29-32
[5] Nottingham. K, Elizabet. Agama dan masyarakat. 1990.PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Hal: 74
[6] http://media.isnet.org/islam/Etc/Durkheim.html
[7] Ibid. Hal: 22
[8] http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hukum-islam/sosiologi-agama
[9] Ibid. hal: 23
[10] Ibid. Hal: 23-25
[11] Robert, Rolang. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. 1995. PT Raja Grafindo Persada. Hal: 73
[12] Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. 2002. Ghalia Indonesia; Jakarta. Hal: 27

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Its me

Its me

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More