BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Waris adalah perpindahan harta pusaka peninggalan mayit kepada ahli
warisnya. Waris merupakan salah satu ilmu yang sangat penting untuk dipelajari
sebagaimana hadits Nabi yang artinya “Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW
barsabda “Wahai Abu Hurairah belajarlah faraidh dan ajarkanlah karena
sesungguhnya faraidh itu separuh ilmu dan akan dilupakan serta akan dicabut
dari umatku pertama kali’”. Waris sangat penting karena menyangkut harta
peninggalan mayit, agar tidak terjadi perebutan di antara para ahli warisnya
maka Allah telah menentukan ahli waris, yaitu ashabah (ahli waris yang
telah ditentukan bagiannya dalam al-Qur’an) dan Dzawil Furudh (ahli
waris yang tidak ditentukan bagiannya tapi masih mempunyai hubungan dekat
dengan pewaris).
Dalam komunitas masyarakat di Indonesia khususnya, pengetahuan tentang
ilmu waris ini masih kurang sekali. Banyak masyarakat tidak memperhatikan
tentang bagaimana tata cara, pembagian harta waris sesuai dengan anjuran agama
Islam. Kecenderungan masyarakat seperti itu ternyata masih banyak ditemui.
Apalagi dalam permasalahan pembagian harta waris untuk anak angkat. Dalam hukum
Islam anak angkat tidak mendapatkan harta waris dari pewaris. Kecuali dalam
pandangan KUHPer (Burgerlijk Wetboek). Sebagian masyarakat yang tidak
mengetahuinya akan membagikan harta waris dengan sama rata, baik itu bagian
untuk anak laki-laki, perempuan dan anak angkat.
Pada penelitian ini kami akan menguraikan bagaimana pandangan masyarakat
desa Kalen-Kedungpring-Lamongan khususnya di lingkungan RT:5 RW: 2 tentang
harta waris, di mana masih banyak ditemui kurangnya pemahaman tentang waris,
baik itu pengertian maupun tentang jatah bagi anak angkat si pewaris. Dalam
pemahaman tersebut terdapat dua landasan yang dijadikan kebiasaan oleh
masyarakat pada umumnya, dalam menyikapi permasalahan harta waris, yakni
landasan Normatifisme dan positivisme yang nantinya akan kami kembangkan pada
pembahasan di bawah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pemahaman masyarakat Kalen Kedungpring Rt 5 Rw 2 Lamongan tentang hak warits untuk anak angkat.
2.
Bagaimana cara
masyarakat Kalen Kedungpring Rt 5 Rw 2 Lamongan memberi bagian harta
peninggalan untuk anak angkat.
3.
Bagaimana dampak positif dan negatif dapat tidaknya
bagian waris bagi anak angkat.
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui pemahaman masyarakat Kalen Kedungpring
tentang hak waris anak angkat.
2.
Untuk mengetahui bagaimana cara masyarakat Kalen
Kedungpring Rt5 Rw2 Lamongan memberi bagian harta peninggalan untuk anak
angkat.
3.
Untuk mengetahui dampak positif dan negatif dapat
tidaknya bagian harta waris untuk anak angkat.
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat adanya penelitian ini adalah:
1.
sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang harta waris
2.
bagaimana pembagian harta waris untuk anak angkat secara
adat/kebiasaan masyarakat sekitar desa Kalen-Kedungpring-Lamongan RT: 05 RW:02
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pedoman Review
Anak angkat mendapatkan hak waris
ketika anak angkat mengajukan ke pengadilan negeri dan hakin menetapkannya
berdasarkan KUHPer (Burgerlijk Wetboek) sebagaimana yang terdapat dalam
pasal-pasal tersebut:
ü Pasal
862 “jika si meninggal meninggalkan anak-anak luar kawin yang telah diakui
dengan sah, maka warisan harus dibagi dengan cara yang ditentukan dalam empat
pasal berikut”.
ü Pasal
863 “jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami
atau istri, maka anak-anak luar kawin mewaris sepertiga dari bagian yang mereka
sedianya harus mendapatnya andai kata mereka anak-anak yang sah; jika si
meninggal tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, akan tetapi
meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas, ataupun saudara laki dan
perempuan atau keturunan mereka, maka mereka mewaris setengah dari warisan; dan
jika hanya ada sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, tiga perempat”.
ü Pasal
864 “dalam segala hal yang dimaksud dalam pasal yang lalu, warisan selebihnya
harus dibagi antara para pewaris yang sah, dengan cara seperti yang ditentukan
dalam bagian ke dua, dari bab ini”.
ü Pasal
865 “jika si meninggal tak meninggalkan ahli waris yang sah, maka sekalian anak
di luar kawin mendapat seluruh warisan”.
B.
Analisis
Setelah diadakan wawancara pada
masyarakat Kalen Kedungpring Rt 5 Rw 2 Lamongan rata-rata masyarakat mengetahui
apa sebenarnya yang disebut dengan waris tapi tidak semuanya mengetahui apakah
anak angkat mendapatkan bagian waris atau tidak. Berikut hasil wawancaranya:
1.
Cak to alamatnya Kalen Kedungpring No.
19 Rt5 Rw2 Lamongan wawancara jam 10.00 WIB pada hari Rabu tanggal 31 Desember
2008, seorang penjaga toko Lulusan Sekolah Menengah ke Atas. Ia mengatakan
bahwa yang disebut dengan waris adalah harta benda yang diberikan orang tua
kepada ahli waris yang berupa barang bergerak atau barang yang tidak bergerak. Ketika
orang tua angkatnya mempunyai satu anak kandung, maka anak angkat mendapatkan
hak waris 25% dari harta peninggalan orang tuanya, tapi jika ia merupakan anak
tunggal dari keluarga yang mengangkatnya ketika orang tuanya meninggal maka ia
mendapatkan seluruh harta peninggalan orang tuanya (100%). Ketika ada saudara
dari ayah atau ibu angkatnya maka anak angkat mendapatkan seperempat dari harta
waris. Anak angkat tetap diberikan waris berdasarkan realita yang ada dalam
masyarakat. Dampak positif dari pemberian waris kepada anak angkat adalah bahwa
ia benar-benar merasa seperti anak angkat yang sah menurut hokum maupun
benar-benar diakui anak oleh orang tua angkatnya sedangkan dampak negatifnya
tidak ada.
2.
Mbak Nency alamatnya Kalen Kedungpring
No. 22 Rt5 Rw2 Lamongan wawancara jam 15.00 WIB pada hari Kamis tanggal 1
Januari 2009, bekerja sebagai seorang guru lulusan S 1 fakultas kimia. Orang
yang akrab disapa Mbak Cy ini mengatakan waris adalah harta peninggalan orang
tua baik masih hidup maupun sudah meninggal. Ketika orang tuanya mempunyai anak
kandung, maka anak angkat kurang lebih mendapat bagian waris 25% dan jika anak
angkat merupakan anak tunggal ia mendapatkan seluruh harta orang tua angkatnya.
Ketika orang tua angkatnya mempunyai saudara, maka bagian anak angkat adalah
2/3 dari harta warisan. Anak angkat tetap mendapatkan waris hanya berdasarkan
pada perkiraan karena kasihan kalau tidak mendapat warisan (sambil tersenyum). Dengan
memberikan bagian waris bagi anak angkat ia tidak akan merasa iri kepada ahli
waris yang sebenarnya seperti anak atau saudara-saudara dari si pewaris, tapi
jika anak angkat tidak diberikan bagian waris takutnya anak angkat akibat
merasa cemburu karena tidak diberi bagian waris akan melakukan hal-hal yang
tidak diinginkan misalnya seperti membunuh para ahli waris agar ia bisa
mendapatkan bagian waris.
3.
Mbak My alamatnya Kalen Kedungpring No.
35 Rt5 Rw2 Lamongan wawancara jam 18.00 WIB pada hari Kamis tanggal 1 Januari
2009, seorang pengantar jasa lulusan Fakultas bahasa Inggris Ia mengatakan
waris adalah harta peninggalan orang tua yang diwariskan kepada anaknya. Ketika
orang tua angkatnya mempunyai anak kandung dan saudara kandung, maka anak
angkat tidak mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya begitu juga kalau
anak angkat tersebut merupakan anak tunggal dari orang tua angkatnya anak
angkat tetap tidak dapat bagian waris, tapi hanya mendapatkan wasiat, yaitu sepertiga
dari harta orang tuanya (sambil berkata “kalau tidak salah dengar”). Anak
angkat harus diberi bagian waris karena kalau tidak dia akan hidup dengan apa
kalau seumpamanya ia tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Jika tidak diberi bagian waris ia akan merasa benar-benar tidak
diperhatikan dan tidak disayangi oleh keluarga angkatnya.
Dari
hasil wawancara tersebut 2 orang adalah sarjana dan yang satu adalah lulusan
Sekolah Menengah ke Atas, tanggapan mereka berbeda dikarenakan pengetahuan yang
berbeda pula. Hasil wawancara itu masuk kepada aliran Normativisme karena berdasarkan
realita yang ada di sekitar dan perkiraan bukan pengetahuan yang didapat dari
ilmu pengetahuan (positivisme).
Aliran
Normativisme mengaitkan sesuatu dengan lingkungan hukum, yang menurut Plato hukum
bukan sesuatu yang teramati, tetapi juga terkait dengan institusi lain seperti
misi politik, ekonomi dan sebagainya. Hokum mengandung nilai dan hokum bekerja
untuk mengekpresikan nilai-nilai tersebut.
Pendapat
pertama yang mengatakan bahwa ketika anak angkat bersama dengan satu anak
kandung orang tua yang mengangkatnya, maka bagian hak warisnya adalah setengah
dari harta orang tua angkatnya, begitu juga ketika orang tua angkatnya
mempunyai saudara maka anak angkat mendapat bagian seperempat dari harta
warisan orang tua angkatnya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 863 KUHPer
(Burgerlijk Wetboek), tapi dalam pasal tersebut disebutkan bahwa ketika anak
angkat bersama anak kandung dari orang tua angkatnya, maka anak angkat mendapatkan
sepertiga dari harta orang tua angkatnya dan mendapat setengah jika ada saudara
sedarah ke atas dan tiga perempat ketika ada saudara jauh. Dan jika anak angkat
merupakan anak tunggal dari orang tua yang mengangkatnya, maka anak angkat
tersebut mendapatkan seluruh harta peninggalan orang tua angkatnya, sebagaimana
yang tercantum dalam pasal 865 KUHPer
(Burgerlijk Wetboek).
Pendapat kedua sama
persis dengan pendapat pertama, tapi ketika ada saudara bagian waris anak
angkat adalah 2/3 dari harta waris . Ketika anak angkat mengajukan hak warisnya
ke Pengadilan Negeri, maka anak angkat bisa mendapatkan bagian hak waris dari
harta peninggalan orang tuanya karena Pengadilan Negeri berpedoman pada pasal
862, 863, 864 dan 865 KUHPer (Burgerlijk Wetboek). Tapi ketika anak
waris mengajukannya ke Pengadilan agama, maka anak angkat tidak bisa
mendapatkan waris dari harta peninggalan orang tuanya karena Pengadilan Agama
sumber hokum Materiilnya adalah al-Qur’an dan Hadis Nabi, dimana dalam al-Quran
anak angkat tidak bisa mendapat bagian waris dari orang tua angkatnya karena
tidak ada hubungan nasab yang bisa menjadikannya sebagai ahli waris dari orang
tua angkatnya.
Dalam
al-Qur’an disebutkan dalam surat An-Nisaa’ ayat 8, yaitu “Dan apabila
sewaktu pembagian waris hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan uapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik”. Ayat ini mengandung 3 garis hokum yang berkaitan
dengan pelaksaan hokum kewarisan Islam, yaitu:
1)
Kalau ahli waris membagi harta
warisannya dan ada orang yang bukan ahli waris ikut hadir, maka berilah kepada
yang ikut hadir dari pembagian yang telah diperoleh ahli waris, dan ucapkanlah
kepada mereka kata-kata yang baik.
2)
Kalau ahli waris membagi harta
warisannya dan ada anak yatim yang ikut hadir, maka mereka diberi bagian.
3)
Kalau ahli waris membagi harta
earisannya dan ada orang miskin yang ikut hadir, maka kepada mereka diberikan
bagian.
Anak angkat adalah anak
yang diurus, dididik dan dibiayai bukan oleh orang tua kandungnya tetapi oleh
orang tua angkatnya berdasarkan keputusan pengadilan. Anak angkat merupakan
salah satu orang yang tidak berhak menerima harta warisan, oleh karena itu
pewaris dapat memberikan harta peninggalannya dengan cara wasiat atau hibah.
Kecuali jika ada kesepakatan dari ahli waris orang tua angkatnya untuk
memberikan bagian waris kepada anak angkat.
Bagian wasiat anak
angkat adalah sepertiga dari harta peninggalan orang tua angkatnya kecuali ada
persetujuan dari semua ahli waris, maka anak angkat bisa mendapat lebih dari
sepertiga, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 195 ayat 2 Kompilasi Hukum
Islam, yaitu “Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari
harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya”. Dalam hadis Nabi
yang diriwayatkan oleh Ahmad dari ibn Abbas juga disebutkan bahwa wasiat tidak
melebihi sepertiga dari seluruh jumlah harta pewaris dan disetujui oleh para
ahli warisnya, namun persetujuan ahli waris diberlakukan bila besarnya wasiat
melebihi sepertiga dari jumlah keselurukan hartanya.
Sedangkan pendapat
ketiga yang beranggapan bahwa anak angkat tidak bisa mendapat bagian waris dari
orang tua angkatnya baik orang tua angkatnya mempunyai anak kandung atau pun
tidak mempunyai anak kandung dan ketika ada saudara dari orang tua angkatnya.
Hal ini sebagaimana yang ditetapkan dalan kitab-kitab fiqih.
Mengenai dampak positif
ketika anak angkat memperoleh bagian waris ada beberapa berpendapat, yaitu
dengan diberi bagian waris, maka anak angkat merasa benar-benar sudah masuk
menjadi anggota keluarga dari keluarga angkatnya, tidak merasa iri dengan ahli
waris yang mendapatkan bagian waris dan ada juga yang berpendapat ketika anak
angkat tidak diberi bagian waris, maka ia akan merasa kekurangan bahkan tidak bisa
menyambung hidupnya ketika ia tidak punya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Sedangkan untuk dampak
negatifnya ada yang beranggapan bahwa jika anak angkat tidak mendapat bagian
waris ia akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan seperti misalnya ia akan
membinuh para ahli waris karena merasa cemburu yang lain dapat bagian waris
sedangkan ia sendiri tidak mendapat bagian waris atau ia merasa tidak dihargai,
tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga dari keluarga angkatnya.
Mengenai dampak negatif
yang kemungkinan terjadi ketika anak angkat tidak mendapat waris sebenarnya
bukan masalah apakah ia dianggap bagian dari keluarga angkatnya atau bukan,
tapi masalah apakah ia bisa mendapatkan bagian atau tidak yang jika kita
mengacu pada kitab-kitab fikih yang menetapkan anah waris merupakan salah satu
orang yang terhalang untuk mendapat waris sebab tidak ada hubungan nasab dari
pewaris. Sedangkan ketika ditinjau dari KUHPer (Burgerlijk Wetboek) yang menetapkan
bahwa anak angkat mendapatkan bagian waris dari harta peninggalan orang tua
angkatnya alasan-alasan itu mungkin saja terjadi karena ia merasa berhak atas
bagian waris dari orang tua angkat tapi oleh ahli waris keluarga angkatnya ia
tidak diberikan hak waris.
Dari paparan di atas
dapat dikatakan bahwa hokum sebagai rekayasa social:
a.
Hokum bergerak seirama dengan perubahan
social di masyarakat yang kemudian memunculkan aliran hokum sosiologi.
b.
Paradigma rekayasa social menekankan
pada efektifitas hokum yang menggeser paradigm kajian tradisional legalitas
hokum.
Jika dikaitkan dengan kasus di atas
hokum sebagai rekayasa sosial yang menurut KUHPer (Burgerlijk Wetboek) bagian
anak angkat adalah sepertiga ketika ada anak angkat, setengah ketika ada
saudara dekat, tiga perempat ketika ada saudara jauh, dan anak angkat
mendapatkan wasiat atau hibah seperti yang diterangkan dalam kitab-kitab fiqih.
Tapi realita di masyarakat anak angkat diberi waris yang bagiannya ditentukan
menurut kesepakatan anggota keluarga.
Hokum
juga sebagai konstitusi yang dapat dilaksanakan melalui lembaga hokum dan
sosiologi hokum mengamati bagaimana hokum bakerja. Anak angkat bisa mendapatkan
bagian waris dari yang ditetapkan ketika semua ahli waris setuju untuk
memberikannya melebihi ketentuan. Masyarakat awam yang tidak mengetahui bahwa
pengadilan adalah tempat untuk menyelesaikan masalah waris biasanya membagi
waris berdasarkan asas kekelurgaan yang terkadang mengundang pertikaian karena
perebutan hak waris.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa
masyarakat Kalen Kedungpring Rt5 Rw2 Lamongan mempunyai pemahaman tentang
waris. Yang pada intinya waris adalah harta peninggalan dari seorang yang
meninggal yang diberikan kepada ahli warisnya baik berupa barang bergerak
ataupun tidak bergerak.
2.
Dua orang berpendapat anak angkat tetap
diberikan bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya setengah atau 25%
bagi anak angkat yang orang tua angkatnya mempunyai anak kandung, sedangkan
diberikan seluruh harta (100%) peninggalan orang tua angkatnya jika orang tua
angkatnya tidak mempunyai anak kandung. Ketika ada saudara bagian waris anak
angkat adalah ada yang berpendapat 2/3 dan ada yang berpendapat seperempat.
3.
Dampak positif ketika ada anak angkat
dapat atau tidak dapat bagian waris adalah:
a.
Merasa benar-banar dianggap sebagai
bagian dari keluarga
b.
Tidak merasa iri dengan ahli waris yang
lain
c.
Dengan mendapat bagian waris kebutuhan
hidupnya bisa terpenuhi dan tidak akan merasa kekurangan ketika ia belum
mempunyai pemghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setelah ditinggal orang
tuanya.
Sedangkan untuk dampat negatifnya
adalah:
a.
Adanya kemungkinan anak angkat untuk
melakukan hal-hal yang tidak diinginkan seperti misalnya membunuh para ahli
waris karena merasa iri tidak mendapatkan bagian waris sedangkan ia ingin
mendapatkan waris.
b.
Merasa tidak dihargai sebagai bagian
dari keluarga.
c.
Tidak dianggap sebagai keluarga dari
keluarga angkatnya.
Semua hasil wawancara tersebut masuk
pada aliran normatif karena berdasarkan pada lingkungan sekitar dan perkiraan
bukan berdasarkam pada ilmu pengetahuan (positivisme). Hokum sebagai rekayasa
sosial yang bergerak seirama dengan
perubahan sosial di masyarakat. Selain itu hokum juga sebagai konstitusi yang
dapat dilaksanakan melalui lembaga atau badan hokum dan sosiologi hokum sebagai
pengamat bagaimana hokum bekerja.
0 komentar:
Posting Komentar