Rabu, 10 Oktober 2012

Sebab turunnya Ayat Memakan harta anak Yatim


1)      Diriwayatkan bahwasanya seorang laki-laki dari kabilah Ghathafan mempunyai harta banyak milik kemenakannya yang yatim. Setelah anak itu mencapai usia dewasa, ia meminta hartanya tetapi pamannya menolak permintaan itu. Lalu anak itu mengadukan perkara tersebut kepada Nabi saw. Maka turunlah ayat “wa atul yatama amwalahum…” dan seterusnya yang artinya: “dan berikanlah kepada anak-anak yatim yang sudah baligh harta mereka…”.
2)      Diriwatkan dari Aisyah ra. bahwasanya seorang laki-laki memelihara seorang anak perempuan yatim, yang ia kawini. Anak yatim itu memperoleh bagian warisan setandan kurma (atau setangkai anggur). Orang laki-laki tersebut menahan anak yatim itu karena warisannya itu, sedang anak perempuan itu tidak menaruh rasa cinta sedikit pun kepadanya. Maka turunlah ayat “wa in khiftum alla tuqsithu fil yataamaa… ” dan seterusnya, yang artinya “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim… ”.
3)      Bukhari meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah swt: “wa in hiftum alla tuqsithu fil yataamaa” Aisyah menjawab “ hai putra saudariku, anak perempuan yang yatim itu berada di bawah pemeliharaan (kuasa) walinya”. Anak yatim itu ikut serta dengan walinya dalam harta walinya, sedang wali itu tertarik kepada harta dan kecantikan anak yatim itu. Maka walinya ingin menikahinya tanpa mengurangi besar mahar yang harus diberikan kepadanya. Maka wali itu memberinya mas kawin yang besarnya sama dengan mas kawin yang diberikan oleh laki-laki lain. Akan tetapi laki-laki dilarang berbuat yang demikian itu, kecuali dapat berbuat adil terhadap perempuan-perempuan yatim, dan memberikan mas kawin yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu mereka disuruh menikahi perempuan-perempuan lain saja yang mereka senangi. Orang-orang lalu meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Setelah ayat tersebut turun, maka Allah menurunkan: “wa yas taftuu naka fin-nisaai” (dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita).[1]

  1. TAFSIR AYAT
Surat an-Nisaa’ ayat pertama menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada semua makhluk-Nya agar bertakwa kepada-Nya dengan beribadah kepada Allah yang tidak ada sukutu bagi-Nya. Allah pun menyadarkan manusia tentang kekuasaan-Nya yang telah menciptakan mereka dari satu jiwa, yaitu Adam (wa kholaqo minhaa zaujaha)Dan darinya padanya Allah menciptakan istrinya” yaitu Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam bagian kiri dari belakang pada saat Adam tidur. Ketika ia sadar daritidurnya dan melihat Hawa yang cukup menakjubkan, maka muncullah rasa cinta dan kasih sayang di antara keduanya.[2]
            Ibnu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah mencerikan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah diceritakan kepada kami Waki’, dari Abu Hilal, dari Qatadah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan,”Wanita diciptakan dari laki-laki, maka keinginan wanita dijadikan terhadap laki-laki; dan laki-laki itu dijadikan dari tanah, maka keinginannya dijadikan terhadap tanah, maka pingitlah wanita-wanita lain”.
            Di dalam hadits Shahih disebutkan yang artinya “Sesungguhnya wanita itu dijadikan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya, maka jika kamu bertindak untuk meluruskannya, niscaya kamu akan membuatnya patah. Tetapi jika kamu bersenang-senang dengannya, berarti kamu bersenang-senang dengannya, sedangkan padanya terdapat kebengkokan”.[3]
(wa batstsa minhuma rijaalan katsiran wa nisaa’an)Dan darinya pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. Allah melahirkan dari keduanya yaitu Adam dan Hawa, laki-laki dan wanita yang banyak sekali, serta tersebar di berbagai pelosok dunia dengan perbedaan golongan, sifat, warna kulit dan bahasa.
Kemudian Allah berfirman: (wattaquu allaha Al-ladzii tasaaaluuna bihi wal arhaam)Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu salinh meminta satu sama lain, dan (peliharalah)hubungan silaturrahmi”. Ibrahim, Mujahid, dan al-Hasan berkata (alladzii tasaaaluuna bihi wal arhaam) artinya, sebagaimana ucapan seseorang “Aku meminta kepadamu dengan nama Allah dan dengan adanya (hubungan) kekerabatan di antara kita”. Adh-Dhahhak berkata: “Bertaqwalah kalian kepada Allah yang dengan-Nya kalian saling mengikat janji dan mengadakakaanan persetujuan. Takutlah kalian memutus silaturrahmi. Berupayalah untuk berbuat baik dan menyambungnya”.
Salah seorang Ulama membaca al-arhama menjadi al-arhami, yaknidengan bacaan jar kerena dhamir yang ada pada bihi. Dengan kata lain, kalian saling meminta satu sama lain dengan menyebut nama Allah dan hubungan silaturahmi.
            Dalam hadits shahih disebutkan yang artinya “Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kamu melihat-Nya; jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu”.
            Allah SWT telah menyebutkan bahwa asal mula makhluk itu dari seorang ayah dan seorang ibu. Makna yang dimaksud adalah ialah agar sebagian dari mereka saling mengasihi dengan sebagian yang lain, dan menganjurkan kepada mereka agar menyantuni orang-orang yang lemah dari mereka.[4]
(inna allaha kaana ‘alaikum raqiiban )Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”. Ini merupakan arahan dan perintah agar selalu merasa diawasi oleh Rabb yang Maha mengawasi. Untuk itu Allah menyebutkan bahwa asal penciptaan manusia itu adalah dari satu ayah dan satu ibu, agar sebagian mereka berkasih sayang dengan sebagian lainnya dan juga menganjurkan mereka untuk memperhatikan kaum dhu’afa (orang-orang lemah) di kalangan mereka. [5]
Ayat an-Nisaa’ yang kedua menjelaskan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk menyerahkan harta anak-anak yatim ketika sudah mencapai usia baligh secara sempurna, serta melarang memakan dan menggabungkannya dengan harta orang yang mengasuhnya. Untuk itu Allah berfirman: (wala tatabaddaluu al-khobitsa biththayyibi)Dan janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk”.[6]
            Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Saleh “Janganlah kamu tergesa-gesa dengan rezeki yang haram sebelum datang kepadamu rezeki halal yang telah ditakdirkan buatmu ”. Sa’id ibnu Jubair mengatakan “Janganlah kalian menukar harta halal milik kalian dengan harta haram milik orang lain”. Yakni, janganlah kalian menukar harta kalian yang halal, lalu kalian makan harta mereka yang haram bagi kalian.
Sa’id bin al-Musayyab dan az-Zuhri berkata: “Janganlah engkau memberi yang kurus dan mengambil yang gemuk”. Sedangkan Ibrahim an-Nakha’I dan adh-Dhahhak berkata: “Engkau jangan memberikan yang palsu dan mengambil yang baik”. Dan as-Suddi berkata: “Salah seorang di antara mereka mengambil kambing anak yatim yang gemuk lalu sebagai gantinya ia memberi kambing yang kurus, sambil berkata: (yang penting) kambing dengan kambing. Serta ia pun mengambil dirham yang baik dan menggantinya dengan dirham yang jelek dan berkata: (yang penting) dirham dengan dirham”.[7]
 (walaa takkuluu amwalahum ilaa amwalikum)Dan janganlah kamu memakan harta mereka bersamamu”. Mujahid, Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayyan, as-Suddi dan Sufyan bin Husain berkata:”Yakni janganlah kalian campur harta tersebut, lalu kamu makan seluruhnya”.[8]
Sedangkan Firman Allah (innahu kaana huuban kabiiraan) “sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”. Maksudnya adalah sesungguhnya upayamu yang memakan harta mereka bersama hartamu adalah dosa besar dan kesalahan besar dan harus dijauhi oleh setiap orang.
            Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai firman-Nya “Huban Kabiran”, yakni dosa besar. Akan tetapi, di dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi, sedangkan ia orang daif.[9]
Dalam ayat tersebut Allah mengajarkan kepada manusia agar bertaqwa kepada Allah dan selalu berhati-hati dengan dalam menghadapi persoalan wanita sebagaimana kewajian dalam memperlakukan anak yatim. Dan belajar membebaskan diri dari berbuat melampui batas kepada nak-anak yatim sebagaimana melepaskan diri dari perbuatan melampui batas kepada harta anak-anak yatim.
Allah berfirman yang artinya “Nikahlah kalian jika kalian merasa aman untuk tidak berlaku sesuatu yang melampui batas terhadap kaum wanita, yang telah Aku halalkan atas kalian dan Aku mubahkan dua, tiga atau empat. Jika kalian masih khawatir atas diri kalian untuk tidak berlaku adil, maka janganlah kalian menikahi mereka, tapi ambillah dari budak-budak wanita kalian. Sebab sangat kecil kalian melakukan tindakan yang tidak adil kepada mereka, sebab mereka adalah milik dan harta lakian dan tidak ada hak bagi mereka sebagaimana hak yang ada pada wanita-wanita merdeka. Dengan demikian, maka yang demikian keselamatan lebih dekat kepada kalian untuk tidak melakukan dosa dan tindakan yang tidak adil ”.
Jika ada yang mempertanyakan jawaban dari firman Allah“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya)”. Maka, jawabannya adalah dalam firman-Nya”Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat”.[10]
Surat an-Nisaa’ yang ketiga, yakni (wa in hiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa fankihuu ma thaaba lakum minannisaa’I ) “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap(hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi”. Maksudnya apabila di bawah pemeliharaan salah seorang di antara kamu terdapat wanita yatim dan ia merasa takut tidak dapat memberikan mahar sebanding, maka carilah wanita lain karena mereka cukup banyak dan Allah tidak akan memberikan kesempitan padanya.[11]
            Siti Aisyah menuturkan bahwa setelah ayat ini turun kemudian turun ayat lain, yaitu (wa targhabu an tankihuu hunna) yang artinya “sedang kalian ingin mengawini mereka”. Karena ketidaksukaan seseorang di antara manusia terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka dilarang menikahi anak yatim yang disukai karena banyak harta dan cantik, kecuali dengan mas kawin yang adil. Demikian itu karena ketidaksukaan manusia pada anak-anak yatim yang sedikit hartanya dan tidak cantik.[12]
Jumhur Mufassirin berpendapat bahwa bentuk imperatif dalam firman Allah (fankihuu ma thaaba lakum minannisaa’I) adalah sebagai perintah yang bersifat mubah, sama dengan perintah yang tersebut dalam firman-Nya (wa kuluu wasyrabuu). Ahli mazhab Dzahiriyyah atau kaum fenomenalis berpendapat bahwa kawin adalah wajib karena menurut lahir ayat perintah untuk kawin adalah perintah wajib, tetapi pendapat ini terbantah dengan firman Allah: waman lam yastathi’ minkum thaulan sanpai firman-Nya: wa an tashbiruu khairun lakum yang artinya “Dan barang siapa di antara kamu yang tidak cukup perbelanjaannya untu kawin” sampai “dan kesabaran itu lebih baik bagimu”. (An-Nisaa’ ayat 25).
Menurut al-Fakhrurrazi sebagaimana yang diterangkan dalam surat an-Nisaa’ 25 bahwa meninggalkan perkawinan karena tidak cukup perbelanjaannya dan untuk menafkahi istri lebih baik dari pada mengerjakannya, dengan demikian hokum nikah yang dilukiskan dalam surat tersebut sunnah saja bukan, apalagi wajib.
Sedangkan untuk firman Allah yang berbunyi matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’. Para ahli bahasa Arab sependapat bahwa lafal-lafal tersebut adalah kata-kata bilangan yang berulang dan setiap kata bilangan yang berulang itu menunjukkan bilangan yang senama, jadi matsnaa menunjukkan bilangan itsnaini-itsnaini (dua-dua), tsulaatsa menunjukkan bilangan tsalaatsatun-tsalaatsatun (tiga-tiga), dan rubaa’ menunjukkan bilangan arba’atun-arba’atun (empat-empat).[13]
Bilangan-bilangan ini senada dengan firman Allah: jaa’ili almalaaikati rusulan uuli ajnihatin matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’a (yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat). Artinya, di antara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga, dan ada yang empat. Hal ini berarti meniadakan adanya malaikat yang mamiliki jumlah sayap selain dari itu, karena adanya dalil yang menunjukkan hal itu. Berbeda dengan kasus pembatasan empat wanita bagi laki-laki pada surat an-Nisaa’ ayat 3 tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan Jumhur ‘Ulama, karena kedudukannya adalah posisi pemberian kenikmatan dan kebolehan. Seandainya dibolehkan menggabung lebih dari empat wanita tentu Allah akan menyebutkannya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam ketika memiliki istri sepuluh orang, maka Nabi bersabda:”pilihlah empar orang di antara mereka” yang kemudian pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar ia menceraikan istri-istrinya karena khawatir mereka akan mendapatkan warisan darinya. Lalu ia membagikan hartanya kepada anak-anaknya. Ketika berita itu sampai kepada ‘Umar, maka ia berkata:”Aku menyangka syaitan telah mencuri-curi berita (dari langit) tentang kematianmu dan membisikkannya kepadamu (untuk menceraikan istri-istrimu). Dan seakan-akan engkau tidak akan bertahan hidup kecuali beberapa waktu saja. Maka demi Allah rujukilah istri-istrimu dan ambil kembali hartamu atau aku akan mewariskan hartamu kepada mereka dan aku perintahkan agar kuburmu dirajam, sebagaimana dirajamnya kubur Abu Righal”.
Yang menjadi dalil dari riwayat di atas adalah bahwa kalaulah boleh menggabungkan lebih dari empat istri, tentu Rasulullah saw telah mengizinkan ia memiliki sepuluh orang istri. Tapi pada kenyataanya Beliau memerintahkan untuk memilih empat orang istri saja dan yang lain diceraikan. Hal ini menunjukkan larangan menggabungkan lebih dari empat orang istri, apapun alasannya. Dan jika hal itu dilarang dalam kondisi telah terjadi (terlanjur diperistri), maka melakukannya sebelum terlanjur tentu lebih diharamkan lagi.[14]
            Imam Syafi’I mengatakan “sesungguhnya sunnah Rasulullah SAW yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah SAW tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita”. Apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’I ini telah disepakati di kalangan para Ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari golongan Ulama Syi’ah yang mengatakan “seorang laki-laki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang”. Sebagian dari kalangan Syi’ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah SAW dalam hal menghimpun istri lebih banyak dari pada empat orang sampai Sembilan orang wanita, seperti yang disebutkan dalam hadits shahih.
            Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafadz hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhari; sesungguhnya Imam Bukhari sendiri telah mentaqliknya (memberi komentar).[15]
Firman Allah (fain khiftum alla ta’diluu fawahidatan auma malakat aimanukum) “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki”. Artinya, nikahilah satu saja apabila kamu takut memiliki banyak istri dan tidak mampu berbuat adil di antara istri-istrimu, sebagaimana firman Allah (walan tastathi’uu anta’diluu baina an-nisaa’I walau harashtum) “Dan tidak akan pernah kamu mampu berbuat adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat menginginkannya”. Pada ayat ini jelaslah bahwa jika takut berbuat tidak adil maka cukuplah satu istri saja.[16]
Aisyah meriwayatkan bahwa setelah ayat ini turun kemudian diturunkan pula ayat lain “wa targhabuuna tankihuu hunna” (sedang kalian ingin mengawini mereka). Karena ketidak sukaan seseorang di antara kalian terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali dengan mas kawin yang adil. Demikian itu karena ketidaksukaan mereka bila anak-anak yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik.[17]
            Menurut Imam Syafi ‘ alla ta’uluu’ berarti lebih dekat agar kamu tidak banyak mendapat anak. Tegasnya karena kamu mengawini banyak perempuan maka, kamu banyak mendapat anak, maka dengan satu orang istri satu saja kamu tidak akan banyak mendapat anak.
            Tsa’labi menolak keterangan Syafi’I dengan menegaskan, bahwa  alla ta’uluu’ dengan arti banyak itu tidak dapat diterima. Tetapi keterangan Tsa’labi dapat dijawab, karena sebelum Syafi’I, seperti Zaid bin Aslam dan Jabir bin Zaid, keduanya telah menafsirkan ayat ini seperti tafsir Syafi’I, dan mereka tidak akan menafsirkan Al- Qur’an itu kalau tidak mempunyai kemampuan bahasa Arab. Telah diceritakan oleh Al-Qurthubi, dari Ahmad, Ibnu Amri Duri dan Ibnu Arabi, bahwa Abu Hatim berkata, “Syafi’I adalah seorang yang lebih mengerti bahasa Arab dari pada kita, barangkali yang dikatakan itu adalah satu lughat (bahasa)”.[18]
Poligami merupakan suatu keharusan yang ditimbulkan oleh keadaan kehidupan itu sendiri. Diperbolehkannya poligami merupakan salah satu kebanggaan Islam, sebab dengan dibukanya pintu poligami Islam telah dapat memecahkan suatu problem yang sulit, lagi ruwet dari problem-problem yang dialami oleh bangsa-bangsa dan masyarakat dunia sekarang ini dan yang tidak ditemukan cara pemecahan kecuali dengan kembali kepada hokum Islam serta menjalankan peraturan yang disyaratkan Islam. Ada sebab-sebab yang memaksa, yang menjadikan poligami suatu keharusan, seperti kemandulan para istri, atau karena istri menderita penyakit yang tidak memungkin bagi suaminya untuk mencampurinya.[19]
            Ibnu Arabi menuturkan dalam tafsirnya “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yatim, (jika kamu mengawininya)”, sejumlah ahli tafsir menuturkan bahwa yang dimaksud adalah “jika kamu yakin dan tahu”. Sebab walaupun istilah ‘takut’ (khaul) secara bahasa memiliki makna sesuatu sangkaan yang keberadaannya lebih kuat dari ketidak adaannya, namun kadang kala juga dia memiliki makna sesuatu yang meyakinkan dan sesuatu yang pasti. Sedangkan yang benar menurut Ibnu Arabi adalah sangkaan kuat dan bukan sesuatu yang yakin dan pasti. Dimana dalam perkiraan kuatnya dia tidak akan mampu berlaku adil terhadap anak perempuan itu.
            Menurut Imam Hanifah yang makna dari ‘perempuan yatim’ (yang ditinggal mati orang tuanya dan ia masih kecil) berarti, bahwa itu bermakna dibolehkannya menikahi wanita wanita yatim yang belum baligh. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’I berkata “tidak boleh nikah dengan perempuan yatim yang belum baligh hingga dia baligh, dan memungkinkan untuk diminta pendapatnya, serta ada izin darinya. Dan dalam sebagian riwayat kami, jika ia membutuhkan pada perlindungan, maka boleh ia dinikahi sebelum baligh”. Pendapat yang menjadi pilihan dari pendapat Abu Hanifah adalah; bahwa yang dimaksud dengan anak yatim adalah saat dia belum baligh, jika sudah baligh maka dia adalah perempuan namanya, dan bukan yatim lagi. Dengan begitu yang dimaksud adalah perempuan yatim yang sudah baligh. Ini sesuai dengan firman Allah;”Dan mereka meminta fatwa kepadamu tantang para wanita”, (An-Nisaa’:127), kata wanita di sini berlaku untuk wanita-wanita yang telah dewasa. Demikian pila dengan firman-Nya;”Tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka”, (An-Nisaa’:127), di sana sangat diperhatikan kata ‘nisaa’ (wanita dewasa) dan ternasuk di dalamnya adalah wanita yatim.[20]
            Ustaz Al-Imam mengatakan jika hendak menikahi anak yatim dan merasa takut akan memakan hartanya, maka tidak boleh mengawini anak yatim tersebut dan nikahilah wanita lain yang baik-baik. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah teranglah bahwa hubungan antara perintah kawin dengan pemeliharaan anak yatim, tidaklah berarti syarat bolehnya perkawinan itu oleh karena takut memelihara anak yatim. Ulama sepakat untuk mengatakan, bahwa syarat yang tersebut tidaklah menjadi satu ketentuan untuk membolehkan perkawinan dengan perempuan lain, yaitu bolehnya bagi orang yang merasa takut tidak akan berlaku jujur terhadap anak yatim, kawin dengan perempuan lain, lebih dari satu orang, dua, tiga atau empat orang.
            Dari ayat tersebut dapat diambil dalil bahwa haram kawin dengan perempuan lebih dari empat orang. Jika ada orang yang berpendapat bahwa ayat tersebut menunjukkan bolehnya seorang laki-laki kawin dengan Sembilan orang perempuan yaitu jumlah dari dua, tiga dan empat tidaklah dapat diterima karena dalam ayat ini ada kata ‘atau’, jadi maknanya boleh pilih dua, tiga atau empat orang. Kawin lebih dari empat orang itu hanyalah ketentuan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan tidak dibolehkan bagi orang lain.[21]
            Sebuah riwayat dari Anas bahwa Rasulullah SAW kawin dengan 15 orang wanita, di antara mereka yang telah digauli adalah 13 orang dan yang dihimpun Beliau adalah 11 orang. Sedangkan di saat wafat, Beliau meninggalkan 9 orang istri. Menurut para Ulama, hal ini merupakan kekhususan-kekhususan Beliau, bukan untuk umatnya.[22]
B.     Kesimpulan
a.       Semua umat manusia berasal dari satu sumber dan satu turunan dari satu bapak atau moyang, yaitu Nabi Adam as.
b.      Boleh saling bertanya dan meminta satu sama lain dengan mempergunakan nama Allah.
c.       Hak sanak kelurga sangat besar sekali, oleh sebab itu Allah memerintahkan untuk mempererat silaturrahmi dan melarang memutuskan hubungan kekeluargaan.
d.      Kewajiban memelihara anak yatim dan menjaga hartanya untuk diserahkan kepadanya apabila ia telah dewasa (baligh).
e.       Kemubahan menikah sampai dengan empat orang wanita merdeka, dengan syarat dapat berlaku adil terhadap mereka dalam membagi waktu dan nafkah.
f.       Kewajiban atas seorang laki-laki agar ia mengawini seorang saja, kalau ia khawatir tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya.
Ijma para Ulama’ telah sepakat akan haramnya kawin dengan perempuan lebih dari empat orang. Walaupun banyak kalangan yang mengatakan bolehnya kawin dengan lebih dari empat orang istri atau lebih dengan dasarnya dalil al-Qur’an an-Nisaa’ ayat 3. Ada juga yang memaknai “matsnaa wa tsulatsa wa rubaa’” dengan bolehnya mengawini perempuan lebih dari empat bahkan sampai sembilan orang istri dimana mereka beranggapan dua tambah tiga tambah empat adalah sembilan. Bahkan Nabi pun memiliki istri lebih dari empat orang, atas masalah ini Ulama’ sepakat bahwa mengawini seorang perempuan lebih dari empat hanya dikhususkan untuk Nabi dan tidak dibolehkan untuk ummatnya.
Beristri lebih dari empat tetap tidak boleh karena seorang laki-laki yang mempunya istri lebih dari empat tidak akan dapat berbuat adil sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an yang secara jelas mengatakan bahwa manusia tidak akan mampu untuk berbuat adil sampai kapanpun. Beristri lebih dari satu pun itu sebenarnya suatu kemubahan karena ada sebeb yang memaksa seorang laki-laki untuk melakukannya (istri mandul atau mempunya penyakit yang tidak bisa disembuhkan). Poligami merupakan pintu dalam islam untuk memecahkan suatu ploblem yang sangan sulit demi untuk menjaga hokum islam itu sendiri dan harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ajaran Islam.



DAFTAR PUSTAKA
Ali Ash-Shabuni, Muhammad. Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an. Jilid 1. 1994. PT Al-Ma’rifah: Bandung
Ihsan Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir: Bogor.
Rahman, Samson. Tafsir Wanita. 2006. Cet ke 3. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung
Abdul Halim Hasan, Syekh, H. Tafsir Al-Ahkam. 2006. Kencana Prenada Media Group: Jakarta


[1] Ali Ash-Shabuni, Muhammad. Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an. Jilid 1. 1994. PT Al-Ma’rifah: Bandung. Hal 734-735
[2] Ihsan Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir: Bogor. Hal 414
[3] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 425-426

[4] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 427-428
[5] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 427-428
[6] Ihsan Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir: Bogor. Hal 418
[7] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 430-431
[8] Ihsan Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir: Bogor. Hal 418
[9] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 431
[10] Rahman, Samson. Tafsir Wanita. Cet ke 3. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006. Hal 231
[11] Ihsan Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir: Bogor. Hal 419
[12]Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 434
[13] Ali Ash-Shabuni, Muhammad. Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an. Jilid 1. 1994. PT Al-Ma’rifah: Bandung. Hal 745-746
[14] Ihsan Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir: Bogor. Hal 421-422
[15] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 436
[16] Ihsan Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir: Bogor. Hal 422
[17] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 435
[18] Abdul Halim Hasan, Syekh, H. Tafsir Al-Ahkam. 2006. Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Hal
[19] Ali Ash-Shabuni, Muhammad. Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an. Jilid 1. 1994. PT Al-Ma’rifah: Bandung. Hal 751
[20] Rahman, Samson. Tafsir Wanita. Cet ke 3. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006. Hal 227
[21] Abdul Halim Hasan, Syekh, H. Tafsir Al-Ahkam. 2006. Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Hal
[22] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 233

Total Tayangan Halaman

Its me

Its me

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More