1)
Diriwayatkan bahwasanya seorang laki-laki dari kabilah
Ghathafan mempunyai harta banyak milik kemenakannya yang yatim. Setelah anak
itu mencapai usia dewasa, ia meminta hartanya tetapi pamannya menolak
permintaan itu. Lalu anak itu mengadukan perkara tersebut kepada Nabi saw. Maka
turunlah ayat “wa atul yatama amwalahum…” dan seterusnya yang artinya:
“dan berikanlah kepada anak-anak yatim yang sudah baligh harta mereka…”.
2)
Diriwatkan dari Aisyah ra. bahwasanya seorang laki-laki
memelihara seorang anak perempuan yatim, yang ia kawini. Anak yatim itu
memperoleh bagian warisan setandan kurma (atau setangkai anggur). Orang
laki-laki tersebut menahan anak yatim itu karena warisannya itu, sedang anak
perempuan itu tidak menaruh rasa cinta sedikit pun kepadanya. Maka turunlah
ayat “wa in khiftum alla tuqsithu fil yataamaa… ” dan seterusnya, yang
artinya “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yatim… ”.
3)
Bukhari meriwayatkan dari Urwah bin Zubair bahwa ia
bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah swt: “wa in hiftum alla tuqsithu
fil yataamaa” Aisyah menjawab “ hai putra saudariku, anak perempuan yang
yatim itu berada di bawah pemeliharaan (kuasa) walinya”. Anak yatim itu ikut
serta dengan walinya dalam harta walinya, sedang wali itu tertarik kepada harta
dan kecantikan anak yatim itu. Maka walinya ingin menikahinya tanpa mengurangi
besar mahar yang harus diberikan kepadanya. Maka wali itu memberinya mas kawin
yang besarnya sama dengan mas kawin yang diberikan oleh laki-laki lain. Akan
tetapi laki-laki dilarang berbuat yang demikian itu, kecuali dapat berbuat adil
terhadap perempuan-perempuan yatim, dan memberikan mas kawin yang
setinggi-tingginya. Oleh karena itu mereka disuruh menikahi perempuan-perempuan
lain saja yang mereka senangi. Orang-orang lalu meminta fatwa kepada Rasulullah
saw. Setelah ayat tersebut turun, maka Allah menurunkan: “wa yas taftuu naka
fin-nisaai” (dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita).[1]
- TAFSIR AYAT
Surat an-Nisaa’ ayat pertama menjelaskan bahwa Allah SWT
memerintahkan kepada semua makhluk-Nya agar bertakwa kepada-Nya dengan
beribadah kepada Allah yang tidak ada sukutu bagi-Nya. Allah pun menyadarkan
manusia tentang kekuasaan-Nya yang telah menciptakan mereka dari satu jiwa, yaitu
Adam (wa kholaqo minhaa zaujaha) “Dan darinya padanya Allah
menciptakan istrinya” yaitu Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam
bagian kiri dari belakang pada saat Adam tidur. Ketika ia sadar daritidurnya
dan melihat Hawa yang cukup menakjubkan, maka muncullah rasa cinta dan kasih
sayang di antara keduanya.[2]
Ibnu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah mencerikan kepada kami Muhammad ibnu
Muqatil, telah diceritakan kepada kami Waki’, dari Abu Hilal, dari Qatadah,
dari Ibnu Abbas yang mengatakan,”Wanita diciptakan dari laki-laki, maka
keinginan wanita dijadikan terhadap laki-laki; dan laki-laki itu dijadikan dari
tanah, maka keinginannya dijadikan terhadap tanah, maka pingitlah wanita-wanita
lain”.
Di dalam hadits Shahih disebutkan
yang artinya “Sesungguhnya wanita itu dijadikan dari tulang rusuk, dan
sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya, maka jika kamu
bertindak untuk meluruskannya, niscaya kamu akan membuatnya patah. Tetapi jika
kamu bersenang-senang dengannya, berarti kamu bersenang-senang dengannya,
sedangkan padanya terdapat kebengkokan”.[3]
(wa batstsa
minhuma rijaalan katsiran wa nisaa’an) “Dan darinya pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. Allah melahirkan
dari keduanya yaitu Adam dan Hawa, laki-laki dan wanita yang banyak sekali,
serta tersebar di berbagai pelosok dunia dengan perbedaan golongan, sifat,
warna kulit dan bahasa.
Kemudian Allah berfirman: (wattaquu allaha Al-ladzii tasaaaluuna bihi
wal arhaam) “Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu salinh meminta satu sama lain, dan (peliharalah)hubungan
silaturrahmi”. Ibrahim, Mujahid, dan al-Hasan berkata (alladzii
tasaaaluuna bihi wal arhaam) artinya, sebagaimana ucapan seseorang “Aku
meminta kepadamu dengan nama Allah dan dengan adanya (hubungan) kekerabatan di
antara kita”. Adh-Dhahhak berkata: “Bertaqwalah kalian kepada Allah yang
dengan-Nya kalian saling mengikat janji dan mengadakakaanan persetujuan.
Takutlah kalian memutus silaturrahmi. Berupayalah untuk berbuat baik dan
menyambungnya”.
Salah seorang Ulama membaca al-arhama menjadi al-arhami, yaknidengan
bacaan jar kerena dhamir yang ada pada bihi. Dengan kata
lain, kalian saling meminta satu sama lain dengan menyebut nama Allah dan
hubungan silaturahmi.
Dalam hadits shahih disebutkan yang
artinya “Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kamu melihat-Nya; jika kamu tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu”.
Allah SWT telah menyebutkan bahwa
asal mula makhluk itu dari seorang ayah dan seorang ibu. Makna yang dimaksud
adalah ialah agar sebagian dari mereka saling mengasihi dengan sebagian yang
lain, dan menganjurkan kepada mereka agar menyantuni orang-orang yang lemah
dari mereka.[4]
(inna allaha kaana ‘alaikum raqiiban ) “Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasimu”. Ini merupakan arahan dan perintah agar
selalu merasa diawasi oleh Rabb yang Maha mengawasi. Untuk itu Allah
menyebutkan bahwa asal penciptaan manusia itu adalah dari satu ayah dan satu
ibu, agar sebagian mereka berkasih sayang dengan sebagian lainnya dan juga
menganjurkan mereka untuk memperhatikan kaum dhu’afa (orang-orang lemah) di kalangan
mereka. [5]
Ayat an-Nisaa’ yang kedua menjelaskan bahwa Allah memerintahkan
manusia untuk menyerahkan harta anak-anak yatim ketika sudah mencapai usia
baligh secara sempurna, serta melarang memakan dan menggabungkannya dengan
harta orang yang mengasuhnya. Untuk itu Allah berfirman: (wala tatabaddaluu
al-khobitsa biththayyibi) “Dan janganlah kamu menukar yang baik dengan
yang buruk”.[6]
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari
Abu Saleh “Janganlah kamu tergesa-gesa dengan rezeki yang haram sebelum
datang kepadamu rezeki halal yang telah ditakdirkan buatmu ”. Sa’id ibnu
Jubair mengatakan “Janganlah kalian menukar harta halal milik kalian dengan
harta haram milik orang lain”. Yakni, janganlah kalian menukar harta kalian
yang halal, lalu kalian makan harta mereka yang haram bagi kalian.
Sa’id bin al-Musayyab dan az-Zuhri berkata: “Janganlah engkau memberi
yang kurus dan mengambil yang gemuk”. Sedangkan Ibrahim an-Nakha’I dan
adh-Dhahhak berkata: “Engkau jangan memberikan yang palsu dan mengambil yang
baik”. Dan as-Suddi berkata: “Salah seorang di antara mereka mengambil kambing
anak yatim yang gemuk lalu sebagai gantinya ia memberi kambing yang kurus,
sambil berkata: (yang penting) kambing dengan kambing. Serta ia pun mengambil
dirham yang baik dan menggantinya dengan dirham yang jelek dan berkata: (yang
penting) dirham dengan dirham”.[7]
(walaa takkuluu amwalahum ilaa
amwalikum) “Dan janganlah kamu memakan harta mereka bersamamu”.
Mujahid, Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayyan, as-Suddi dan Sufyan bin Husain
berkata:”Yakni janganlah kalian campur harta tersebut, lalu kamu makan
seluruhnya”.[8]
Sedangkan Firman Allah (innahu kaana huuban kabiiraan) “sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”.
Maksudnya adalah sesungguhnya upayamu yang memakan harta mereka bersama hartamu
adalah dosa besar dan kesalahan besar dan harus dijauhi oleh setiap orang.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui
Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai firman-Nya
“Huban Kabiran”, yakni dosa besar. Akan tetapi, di dalam sanad hadits
ini terdapat Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi, sedangkan ia orang daif.[9]
Dalam ayat tersebut Allah mengajarkan kepada manusia agar bertaqwa kepada
Allah dan selalu berhati-hati dengan dalam menghadapi persoalan wanita
sebagaimana kewajian dalam memperlakukan anak yatim. Dan belajar membebaskan
diri dari berbuat melampui batas kepada nak-anak yatim sebagaimana melepaskan
diri dari perbuatan melampui batas kepada harta anak-anak yatim.
Allah berfirman yang artinya “Nikahlah kalian jika kalian merasa aman
untuk tidak berlaku sesuatu yang melampui batas terhadap kaum wanita, yang
telah Aku halalkan atas kalian dan Aku mubahkan dua, tiga atau empat. Jika
kalian masih khawatir atas diri kalian untuk tidak berlaku adil, maka janganlah
kalian menikahi mereka, tapi ambillah dari budak-budak wanita kalian. Sebab
sangat kecil kalian melakukan tindakan yang tidak adil kepada mereka, sebab
mereka adalah milik dan harta lakian dan tidak ada hak bagi mereka sebagaimana
hak yang ada pada wanita-wanita merdeka. Dengan demikian, maka yang demikian
keselamatan lebih dekat kepada kalian untuk tidak melakukan dosa dan tindakan
yang tidak adil ”.
Jika ada yang mempertanyakan jawaban dari firman Allah“Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya)”. Maka, jawabannya adalah dalam firman-Nya”Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat”.[10]
Surat an-Nisaa’ yang ketiga, yakni (wa in hiftum allaa
tuqsithuu fil yataamaa fankihuu ma thaaba lakum minannisaa’I ) “Dan jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap(hak-hak) perempuan yatim
(bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu
senangi”. Maksudnya apabila di bawah pemeliharaan salah seorang di antara
kamu terdapat wanita yatim dan ia merasa takut tidak dapat memberikan mahar
sebanding, maka carilah wanita lain karena mereka cukup banyak dan Allah tidak
akan memberikan kesempitan padanya.[11]
Siti Aisyah menuturkan bahwa
setelah ayat ini turun kemudian turun ayat lain, yaitu (wa targhabu an
tankihuu hunna) yang artinya “sedang kalian ingin mengawini mereka”.
Karena ketidaksukaan seseorang di antara manusia terhadap anak yatim yang tidak
banyak hartanya dan tidak cantik, maka dilarang menikahi anak yatim yang
disukai karena banyak harta dan cantik, kecuali dengan mas kawin yang adil.
Demikian itu karena ketidaksukaan manusia pada anak-anak yatim yang sedikit
hartanya dan tidak cantik.[12]
Jumhur Mufassirin berpendapat bahwa bentuk imperatif dalam firman Allah (fankihuu
ma thaaba lakum minannisaa’I) adalah sebagai perintah yang bersifat mubah,
sama dengan perintah yang tersebut dalam firman-Nya (wa kuluu wasyrabuu).
Ahli mazhab Dzahiriyyah atau kaum fenomenalis berpendapat bahwa kawin adalah wajib
karena menurut lahir ayat perintah untuk kawin adalah perintah wajib, tetapi
pendapat ini terbantah dengan firman Allah: waman lam yastathi’ minkum
thaulan sanpai firman-Nya: wa an tashbiruu khairun lakum yang
artinya “Dan barang siapa di antara kamu yang tidak cukup perbelanjaannya
untu kawin” sampai “dan kesabaran itu lebih baik bagimu”. (An-Nisaa’
ayat 25).
Menurut al-Fakhrurrazi sebagaimana yang diterangkan dalam surat an-Nisaa’
25 bahwa meninggalkan perkawinan karena tidak cukup perbelanjaannya dan untuk
menafkahi istri lebih baik dari pada mengerjakannya, dengan demikian hokum
nikah yang dilukiskan dalam surat tersebut sunnah saja bukan, apalagi wajib.
Sedangkan untuk firman Allah yang berbunyi matsnaa wa tsulaatsa wa
rubaa’. Para ahli bahasa Arab sependapat bahwa lafal-lafal tersebut adalah
kata-kata bilangan yang berulang dan setiap kata bilangan yang berulang itu
menunjukkan bilangan yang senama, jadi matsnaa menunjukkan bilangan itsnaini-itsnaini
(dua-dua), tsulaatsa menunjukkan bilangan tsalaatsatun-tsalaatsatun (tiga-tiga),
dan rubaa’ menunjukkan bilangan arba’atun-arba’atun
(empat-empat).[13]
Bilangan-bilangan ini senada dengan firman Allah: jaa’ili almalaaikati
rusulan uuli ajnihatin matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’a (yang menjadikan
Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang
mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat). Artinya, di
antara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga, dan ada yang empat.
Hal ini berarti meniadakan adanya malaikat yang mamiliki jumlah sayap selain
dari itu, karena adanya dalil yang menunjukkan hal itu. Berbeda dengan kasus
pembatasan empat wanita bagi laki-laki pada surat an-Nisaa’ ayat 3 tersebut,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas dan Jumhur ‘Ulama, karena
kedudukannya adalah posisi pemberian kenikmatan dan kebolehan. Seandainya
dibolehkan menggabung lebih dari empat wanita tentu Allah akan menyebutkannya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya bahwa Ghailan bin
Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam ketika memiliki istri sepuluh orang, maka Nabi
bersabda:”pilihlah empar orang di antara mereka” yang kemudian pada masa pemerintahan
khalifah ‘Umar ia menceraikan istri-istrinya karena khawatir mereka akan
mendapatkan warisan darinya. Lalu ia membagikan hartanya kepada anak-anaknya.
Ketika berita itu sampai kepada ‘Umar, maka ia berkata:”Aku menyangka syaitan
telah mencuri-curi berita (dari langit) tentang kematianmu dan membisikkannya
kepadamu (untuk menceraikan istri-istrimu). Dan seakan-akan engkau tidak akan
bertahan hidup kecuali beberapa waktu saja. Maka demi Allah rujukilah
istri-istrimu dan ambil kembali hartamu atau aku akan mewariskan hartamu kepada
mereka dan aku perintahkan agar kuburmu dirajam, sebagaimana dirajamnya kubur
Abu Righal”.
Yang menjadi dalil dari riwayat di atas adalah bahwa kalaulah boleh
menggabungkan lebih dari empat istri, tentu Rasulullah saw telah mengizinkan ia
memiliki sepuluh orang istri. Tapi pada kenyataanya Beliau memerintahkan untuk
memilih empat orang istri saja dan yang lain diceraikan. Hal ini menunjukkan
larangan menggabungkan lebih dari empat orang istri, apapun alasannya. Dan jika
hal itu dilarang dalam kondisi telah terjadi (terlanjur diperistri), maka
melakukannya sebelum terlanjur tentu lebih diharamkan lagi.[14]
Imam Syafi’I mengatakan “sesungguhnya
sunnah Rasulullah SAW yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa
seseorang selain Rasulullah SAW tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat
orang wanita”. Apa yang dikatakan oleh Imam Syafi’I ini telah disepakati di
kalangan para Ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari golongan Ulama Syi’ah
yang mengatakan “seorang laki-laki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari
empat orang sampai sembilan orang”. Sebagian dari kalangan Syi’ah ada yang
mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan
Rasulullah SAW dalam hal menghimpun istri lebih banyak dari pada empat orang
sampai Sembilan orang wanita, seperti yang disebutkan dalam hadits shahih.
Adapun mengenai boleh menghimpun
istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafadz
hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhari; sesungguhnya Imam Bukhari sendiri
telah mentaqliknya (memberi komentar).[15]
Firman Allah (fain khiftum alla ta’diluu fawahidatan auma malakat
aimanukum) “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki”. Artinya,
nikahilah satu saja apabila kamu takut memiliki banyak istri dan tidak mampu
berbuat adil di antara istri-istrimu, sebagaimana firman Allah (walan
tastathi’uu anta’diluu baina an-nisaa’I walau harashtum) “Dan tidak akan
pernah kamu mampu berbuat adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat
menginginkannya”. Pada ayat ini jelaslah bahwa jika takut berbuat tidak
adil maka cukuplah satu istri saja.[16]
Aisyah meriwayatkan bahwa setelah ayat ini turun kemudian diturunkan pula
ayat lain “wa targhabuuna tankihuu hunna” (sedang kalian ingin
mengawini mereka). Karena ketidak sukaan seseorang di antara kalian
terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka
dilarang menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali
dengan mas kawin yang adil. Demikian itu karena ketidaksukaan mereka bila
anak-anak yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik.[17]
Menurut Imam Syafi ‘ alla
ta’uluu’ berarti lebih dekat agar kamu tidak banyak mendapat anak. Tegasnya
karena kamu mengawini banyak perempuan maka, kamu banyak mendapat anak, maka
dengan satu orang istri satu saja kamu tidak akan banyak mendapat anak.
Tsa’labi menolak keterangan Syafi’I
dengan menegaskan, bahwa ‘ alla
ta’uluu’ dengan arti banyak itu tidak dapat diterima. Tetapi keterangan
Tsa’labi dapat dijawab, karena sebelum Syafi’I, seperti Zaid bin Aslam dan
Jabir bin Zaid, keduanya telah menafsirkan ayat ini seperti tafsir Syafi’I, dan
mereka tidak akan menafsirkan Al- Qur’an itu kalau tidak mempunyai kemampuan
bahasa Arab. Telah diceritakan oleh Al-Qurthubi, dari Ahmad, Ibnu Amri Duri dan
Ibnu Arabi, bahwa Abu Hatim berkata, “Syafi’I adalah seorang yang lebih
mengerti bahasa Arab dari pada kita, barangkali yang dikatakan itu adalah satu lughat
(bahasa)”.[18]
Poligami merupakan suatu keharusan yang ditimbulkan oleh keadaan
kehidupan itu sendiri. Diperbolehkannya poligami merupakan salah satu
kebanggaan Islam, sebab dengan dibukanya pintu poligami Islam telah dapat
memecahkan suatu problem yang sulit, lagi ruwet dari problem-problem yang
dialami oleh bangsa-bangsa dan masyarakat dunia sekarang ini dan yang tidak
ditemukan cara pemecahan kecuali dengan kembali kepada hokum Islam serta
menjalankan peraturan yang disyaratkan Islam. Ada sebab-sebab yang memaksa,
yang menjadikan poligami suatu keharusan, seperti kemandulan para istri, atau
karena istri menderita penyakit yang tidak memungkin bagi suaminya untuk
mencampurinya.[19]
Ibnu Arabi menuturkan dalam
tafsirnya “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap
(hak-hak)perempuan yatim, (jika kamu mengawininya)”, sejumlah ahli tafsir
menuturkan bahwa yang dimaksud adalah “jika kamu yakin dan tahu”. Sebab
walaupun istilah ‘takut’ (khaul) secara bahasa memiliki makna sesuatu
sangkaan yang keberadaannya lebih kuat dari ketidak adaannya, namun kadang kala
juga dia memiliki makna sesuatu yang meyakinkan dan sesuatu yang pasti.
Sedangkan yang benar menurut Ibnu Arabi adalah sangkaan kuat dan bukan sesuatu
yang yakin dan pasti. Dimana dalam perkiraan kuatnya dia tidak akan mampu
berlaku adil terhadap anak perempuan itu.
Menurut Imam Hanifah yang makna dari
‘perempuan yatim’ (yang ditinggal mati orang tuanya dan ia masih kecil)
berarti, bahwa itu bermakna dibolehkannya menikahi wanita wanita yatim yang
belum baligh. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’I berkata “tidak boleh nikah
dengan perempuan yatim yang belum baligh hingga dia baligh, dan memungkinkan
untuk diminta pendapatnya, serta ada izin darinya. Dan dalam sebagian riwayat
kami, jika ia membutuhkan pada perlindungan, maka boleh ia dinikahi sebelum
baligh”. Pendapat yang menjadi pilihan dari pendapat Abu Hanifah adalah; bahwa
yang dimaksud dengan anak yatim adalah saat dia belum baligh, jika sudah baligh
maka dia adalah perempuan namanya, dan bukan yatim lagi. Dengan begitu yang
dimaksud adalah perempuan yatim yang sudah baligh. Ini sesuai dengan firman
Allah;”Dan mereka meminta fatwa kepadamu tantang para wanita”,
(An-Nisaa’:127), kata wanita di sini berlaku untuk wanita-wanita yang telah
dewasa. Demikian pila dengan firman-Nya;”Tentang para wanita yatim yang kamu
tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu
ingin menikahi mereka”, (An-Nisaa’:127), di sana sangat diperhatikan kata ‘nisaa’
(wanita dewasa) dan ternasuk di dalamnya adalah wanita yatim.[20]
Ustaz Al-Imam mengatakan jika
hendak menikahi anak yatim dan merasa takut akan memakan hartanya, maka tidak
boleh mengawini anak yatim tersebut dan nikahilah wanita lain yang baik-baik.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah teranglah bahwa hubungan
antara perintah kawin dengan pemeliharaan anak yatim, tidaklah berarti syarat
bolehnya perkawinan itu oleh karena takut memelihara anak yatim. Ulama sepakat
untuk mengatakan, bahwa syarat yang tersebut tidaklah menjadi satu ketentuan
untuk membolehkan perkawinan dengan perempuan lain, yaitu bolehnya bagi orang
yang merasa takut tidak akan berlaku jujur terhadap anak yatim, kawin dengan
perempuan lain, lebih dari satu orang, dua, tiga atau empat orang.
Dari ayat tersebut dapat diambil
dalil bahwa haram kawin dengan perempuan lebih dari empat orang. Jika ada orang
yang berpendapat bahwa ayat tersebut menunjukkan bolehnya seorang laki-laki
kawin dengan Sembilan orang perempuan yaitu jumlah dari dua, tiga dan empat
tidaklah dapat diterima karena dalam ayat ini ada kata ‘atau’, jadi maknanya
boleh pilih dua, tiga atau empat orang. Kawin lebih dari empat orang itu
hanyalah ketentuan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan tidak dibolehkan bagi orang
lain.[21]
Sebuah riwayat dari Anas bahwa
Rasulullah SAW kawin dengan 15 orang wanita, di antara mereka yang telah
digauli adalah 13 orang dan yang dihimpun Beliau adalah 11 orang. Sedangkan di
saat wafat, Beliau meninggalkan 9 orang istri. Menurut para Ulama, hal ini
merupakan kekhususan-kekhususan Beliau, bukan untuk umatnya.[22]
B.
Kesimpulan
a.
Semua umat manusia berasal dari satu sumber dan satu
turunan dari satu bapak atau moyang, yaitu Nabi Adam as.
b.
Boleh saling bertanya dan meminta satu sama lain dengan
mempergunakan nama Allah.
c.
Hak sanak kelurga sangat besar sekali, oleh sebab itu
Allah memerintahkan untuk mempererat silaturrahmi dan melarang memutuskan
hubungan kekeluargaan.
d.
Kewajiban memelihara anak yatim dan menjaga hartanya
untuk diserahkan kepadanya apabila ia telah dewasa (baligh).
e.
Kemubahan menikah sampai dengan empat orang wanita
merdeka, dengan syarat dapat berlaku adil terhadap mereka dalam membagi waktu
dan nafkah.
f.
Kewajiban atas seorang laki-laki agar ia mengawini
seorang saja, kalau ia khawatir tidak dapat berlaku adil di antara
istri-istrinya.
Ijma para Ulama’ telah sepakat akan haramnya kawin dengan perempuan lebih
dari empat orang. Walaupun banyak kalangan yang mengatakan bolehnya kawin
dengan lebih dari empat orang istri atau lebih dengan dasarnya dalil al-Qur’an
an-Nisaa’ ayat 3. Ada juga yang memaknai “matsnaa wa tsulatsa wa rubaa’”
dengan bolehnya mengawini perempuan lebih dari empat bahkan sampai sembilan
orang istri dimana mereka beranggapan dua tambah tiga tambah empat adalah
sembilan. Bahkan Nabi pun memiliki istri lebih dari empat orang, atas masalah
ini Ulama’ sepakat bahwa mengawini seorang perempuan lebih dari empat hanya
dikhususkan untuk Nabi dan tidak dibolehkan untuk ummatnya.
Beristri lebih dari empat tetap tidak boleh karena seorang laki-laki yang
mempunya istri lebih dari empat tidak akan dapat berbuat adil sebagaimana
firman Allah dalam al-Qur’an yang secara jelas mengatakan bahwa manusia tidak
akan mampu untuk berbuat adil sampai kapanpun. Beristri lebih dari satu pun itu
sebenarnya suatu kemubahan karena ada sebeb yang memaksa seorang laki-laki
untuk melakukannya (istri mandul atau mempunya penyakit yang tidak bisa
disembuhkan). Poligami merupakan pintu dalam islam untuk memecahkan suatu
ploblem yang sangan sulit demi untuk menjaga hokum islam itu sendiri dan harus
sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ash-Shabuni,
Muhammad. Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an. Jilid 1. 1994. PT
Al-Ma’rifah: Bandung
Ihsan Al-Atsari,
Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir:
Bogor.
Rahman, Samson.
Tafsir Wanita. 2006. Cet ke 3. Pustaka Al-Kautsar.
Jakarta.
Al-Imam Abul
Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000.
Sinar Baru Algensindo: Bandung
Abdul Halim
Hasan, Syekh, H. Tafsir Al-Ahkam. 2006. Kencana Prenada Media
Group: Jakarta
[1] Ali Ash-Shabuni, Muhammad. Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an.
Jilid 1. 1994. PT Al-Ma’rifah: Bandung. Hal 734-735
[2] Ihsan
Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir:
Bogor. Hal 414
[3] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir
Ibnu Kasir Juz 4. 2000. Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 425-426
[4] Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000.
Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 427-428
[5] Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000.
Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 427-428
[6] Ihsan
Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir:
Bogor. Hal 418
[7] Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000.
Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 430-431
[8] Ihsan
Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir:
Bogor. Hal 418
[9] Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000.
Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 431
[10] Rahman,
Samson. Tafsir Wanita. Cet ke 3. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006. Hal
231
[11] Ihsan
Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir:
Bogor. Hal 419
[12]Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000.
Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 434
[13] Ali
Ash-Shabuni, Muhammad. Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an. Jilid 1. 1994. PT
Al-Ma’rifah: Bandung. Hal 745-746
[14] Ihsan
Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir:
Bogor. Hal 421-422
[15] Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000.
Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 436
[16] Ihsan
Al-Atsari, Abu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. 2007. Pustaka Ibnu Katsir:
Bogor. Hal 422
[17] Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000.
Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 435
[18] Abdul
Halim Hasan, Syekh, H. Tafsir Al-Ahkam. 2006. Kencana Prenada Media
Group: Jakarta. Hal
[19] Ali
Ash-Shabuni, Muhammad. Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an. Jilid 1. 1994. PT
Al-Ma’rifah: Bandung. Hal 751
[20] Rahman,
Samson. Tafsir Wanita. Cet ke 3. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006. Hal
227
[21] Abdul
Halim Hasan, Syekh, H. Tafsir Al-Ahkam. 2006. Kencana Prenada Media
Group: Jakarta. Hal
[22] Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Kasir Juz 4. 2000.
Sinar Baru Algensindo: Bandung. Hal 233